Lemak, minyak, sabun dan detergen adalah istilah yang sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya lemak selalu dikaitkan dengan daging, mentega maupun yang berhubungan dengan berat badan kita. Minyak tidak luput dari kegiatan memasak di dapur biasanya untuk menggoreng. Sabun dan detergen berhubungan dengan alat kebersihan sehari-hari, misalnya sabun mandi, sabun cuci dan lain-lain.
Bahan-bahan di atas merupakan hasil penemuan orang Mesir kuno beberapa ribu tahun yang lalu. Pembuatan sabun oleh suku bangsa Jerman dilaporkan oleh Julius Caesar. Kemudian teknik pembuatan sabun dilupakan orang dalam Zaman Kegelapan (Dark Ages), namun ditemukan kembali selama Renaissance. Penggunaan sabun mulai meluas pada abad ke-18.
Lipid/lemak dapat diekstraksi dari sel dan jaringan dengan pelarut organik. Sifat kelarutan ini membedakan lipid dari tiga golongan utama lain dari produk alam lainnya, yaitu karbohidrat, protein dan asam nukleat, yang pada umumnya tidak larut dalam pelarut organik. Kelas-kelas yang biasa dianggap sebagai lipid, yaitu lemak dan minyak, terpena, steroid dan beberapa senyawa lain yang penting.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sumber Buku :
1. Buku Fessenden&Fessenden Kimia Organik Jilid 2 Edisi ketiga (halaman 407 – 415)
1. Lipid
2. Lemak dan Minyak
3. Hidrolisis Lemak
4. Lemak Jenuh dan Lemak Tidak Jenuh
5. Sabun, Deterjen dan Misel
6. Reaksi Penyabunan
7. Fosfolipid
2. Organic Chemistry “Morrison & Boyd” (halaman 1055 – 1069)
1. Struktur Gliserida halaman 1056
2. Rantai saturated fat, trans-unsaturated fat, cis-unsaturated fat halaman 1059
3. Struktrur fosfogliserida dan contohnya halaman 1063, 1065)
BAB III
PEMBAHASAN
A. Lipid
Lipid didefinisikan sebagai senyawa organik yang terdapat dalam alam serta tak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik nonpolar seperti suatu hidrokarbon atau dietil eter. Definisi ini terasa mencakup banyak macam senyawa. Berbagai kelas lipid dihubungkan satu sama lain berdasarkan kemiripan sifat fisiknya, tetapi hubungan kimia, fungsional, dan struktural mereka, maupun fungsi-fungsi biologis mereka beranekaragam. Kelas-kelas yang biasa dianggap sebagai lipid yaitu lemak dan minyak, terpena, steroid dan beberapa senyawa lain yang dianggap penting.
B. Lemak dan Minyak
Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasilgliserol, kedua istilah ini berarti “ triester (dari) gliserol”. Perbedaan suatu lemak dan suatu minyak bersifat sembarang, pada temperatur kamar lemak berbentuk padat dan minyak bersifat cair. Sebagian besar gliserida pada hewan adalah berupa lemak, sedangkan gliserida dalam tumbuhan cenderung berupa minyak. Karena itu sering dikenal lemak hewani (lemak babi, lemak sapi) dan minyak nabati (minyak jagung, minyak bunga matahari, minyak palm).
C. Hidrolisis Lemak
D. Asam Lemak Jenuh dan Lemak Tidak Jenuh
Asam lemak merupakan asam karboksilat yang diperoleh dari hidrolisis suatu lemak atau minyak, umumnya mempunyai rantai hidrokarbon panjang dan tak bercabang. Minyak dan lemak sering diberi nama sebagai derivat asam-asam lemak ini. Misalnya tristearat dari gliserol diberi nama tristearin, dan tripalmitat dari gliserol disebut tripalmitin. Minyak lemak dapat juga diberi nama dengan cara yang biasa dipakai untuk penamaan suatu ester, sebagai contoh, gliseril tristearat dan gliserin tripalmitat.
Asam-asam lemak juga dapat diperoleh dari lilin (waxes), misalnya lilin lebah. Dalam hal-hal ini asam lemak diesterkan dengan suatu alkohol sederhana berantai panjang
Kebanyakan lemak dan minyak yang terdapat di alam merupakan trigliserida campuran, artinya ketiga bagian asam lemak dari gliserida itu tidaklah sama. Tabel 1 memaparkan beberapa asam lemak yang representatif, tabel 2 menunjukkan komposisi asam lemak dari beberapa trigliserida hewani nabati.
Tabel 1 Asam lemak pilihan dan sumbernyaa
Nama asam struktur Sumber
Jenuh:
butirat CH3(CH2)2CO2H lemak susu
palmitat CH3(CH2)14CO2H lemak hewani dan nabati
stearat CH3(CH2)16CO2H lemak hewani dan nabati
Tak-jenuh:
palmitoleat CH3(CH2)5CH=CH(CH2)7CO2H lemak hewani dan nabati
oleat CH3(CH2)7CH=CH(CH2)7CO2H lemak hewani dan nabati
linoleatb CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7CO2H minyak nabati
linolenatb CH3CH2CH=CHCH2CH=CHCH2CH=CH(CH2)7CO2H minyak biji rami
arakidonatb CH3(CH2)4(CH=CHCH2)4(CH2)2CO2H minyak nabati
a Ikatan rangkap karbon-karbon dalam asam lemak tak jenuh alamiah adalah cis
b Asam lemak esensial yang harus ada dalam makanan manusia dan yang digunakan untuk sintesis prostagladin
Tabel 2 Komposi kasar asam lemak dari beberapa minyak dan lemak yang lazim
komposisi (%)a
Sumber palmitat stearat oleat linoleat
minyak jagung 10 5 45 38
minyak kedelai 10 25 55
minyak babi dimurnikan 30 15 45 5
mentega 25 10 35
lemak manusia 25 8 46 10
aAsam-asam lemak lain juga dijumpai dalam kuantitas yang lebih rendah.
Hampir semua asam lemak yang terdapat dalam alam mempunyai jumlah atom karbon yang genap karena asam dibiosintesis dari gugus asetil berkarbon- dua dalam asetil koenzim A.
Rantai hidrokarbon dalam suatu asam lemak dapat bersifat jenuh atau dapat pula mengandung ikatan-ikatan rangkap. Asam lemak yang tersebar paling merata di alam yaitu asam oleat, mengandung satu ikatan rangkap. Asam-asam lemak dengan lebih dari satu ikatan rangkap adalah tidak lazim, terutama dalam minyak nabati, minyak-minyak ini disebut poliunsaturat (polyunsaturates).
Konfigurasi di sekitar ikatan rangkap apa saja dalam asam lemak alamiah adalah cis, suatu konfigurasi yang menyebabkan titik leleh minyak itu rendah. Asam lemak jenuh membentuk rantai “zig-zag” yang dapat cocok satu sama lain, secara mampat sehingga gaya tarik Van de Waalsnya tinggi, oleh karena itu lemak-lemak jenuh itu bersifat padat. Jika beberapa ikatan rangkap cis terdapat dalam rantai, molekul itu tak dapat membentuk kisi yang rapi dan mampat tetapi cenderung untuk melingkar, trigliserida tak jenuh ganda (poliunsaturated) cenderung berbentuk minyak.
• Rantai saturated (asam lemak jenuh)
• Rantai trans-unsaturated (asam lemak tak jenuh)
• Rantai cis-unsaturated (asam lemak tak jenuh)
E. Sabun, Detergen dan Misel
Sabun adalah garam logam alkali (biasanya garam natrium) dari asam-asam lemak. Sabun mengandung terutama garam C16 dan C18, namun dapat juga mengandung beberapa karboksilat dengan bobot atom lebih rendah.
Kemungkinan sabun ditemukan oleh orang Mesir kuno beberapa ribu tahun yang lalu. Pembuatan sabun oleh suku bangsa-suku bangsa Jerman dilaporkan oleh Julius Caesar. Teknik pembuatan sabun dilupakan orang dalam jaman kegelapan (Dark Ages), namun ditemukan kembali selama Renaissance. Pengunaan sabun mulai meluas pada abad ke-18.
Sekarang sabun dibuat praktis sama denagn teknik yang digunakan pada zaman yang lampau. Lelehan lemak sapi dipanaskan dengan lindi (NaOH) dan karenanya terhidrolisis menjadi gliserol dan garam natrium dari asam lemak. Dahulu digunakan abu kayu (yang mengandung basa) seperti K2CO3 Sebagai ganti lindi (lye = larutan alkali).
Reaksi Penyabunan
Setelah penyabunan itu lengkap, lapisan air yang mengandung gliserol dipisahkan dan gliserol dipulihkan dengan penyulingan. Gliserol digunakan sebagai pelembab dalam tembakau, industri farmasi dan kosmetik (sifat melembabkan timbul dari gugus-gugus hidroksil yang dapat berikatan hidrogen dengan air dan mencegah penguapan air itu). Sabunnya dimurnikan dengan mendidihkannya dalam air bersih untuk membuang lindi yang berlebihan, NaCl dan gliserol. Zat tambahan (additive) seperti batu apung, zat warna dan parfum kemudian ditambahkan. Sabun padat itu lalu dilelehkan dan dituang ke dalam suatu cetakan. Alkohol juga dapat digunakan untuk membuat sabun yang tansparan (Morisson&Boyd halaman 1059)
Suatu molekul sabun mengandung suatu rantai hirokarbon panjang plus ujung ion. Bagian hidrokarbon dari molekul itu bersifat hidrofobik dan larut dalam zat-zat nonpolar, sedangkan ujung ion bersifat hidrofilik dan larut dalam air. Karena adanya rantai hidrokarbon, sebuah molekul sabun secara keseluruhan tidaklah benar-benar larut dalam air. Namun sabun mudah tersuspensi dalam air karena membentuk misel (micelles), yaitu segerombol (50-150) molekul sabun yang rantai hidrokarbonnya mengelompok dengan ujung-ujung ionnya menghadap ke air.
Kegunaan sabun ialah kemampuannya mengemulsi kotoran berminyak sehingga dapat dibuang dengan pembilasan. Kemampuan ini disebabkan oleh dua sifat sabun.
• Pertama rantai hidrokarbon sebuah molekul sabun larut dalam zat nonpolar, seperti tetesan–tetesan minyak.
• Kedua, ujung anion molekul sabun yang tertarik pada air, ditolak oleh ujung anion molekul-molekul sabun yang menyembul dari tetesan minyak lain.
Karena tolak menolak antara tetes-tetes sabun minyak, maka minyak itu tidak dapat saling bergabung, tetapi tetap tersuspensi.
Sabun termasuk dalam kelas umum senyawa yang disebut surfaktan (dari kata surface actives agent), yaitu senyawa yang dapat menurunkan tegangan permukaan air. Molekul surfaktan apa saja mengandung suatu ujung hidrofobik (satu rantai hidrokarbon atau lebih) dan suatu ujung hidrofilik (biasanya ionik, namun tidak harus). Porsi hidrokarbon dari suatu molekul surfaktan harus mengandung 12 atom karbon atau lebih agar efektif.
Surfaktan dapat dikelompokkan sebagai anionik, kationik, atau netral, bergantung pada sifat dasar gugus hidrofiliknya. Sabun dengan gugus karboksilatnya, adalah surfaktan anionik, “benzalkonium” klorida (N-benzil amonium kuartener klorida) yang bersifat anti-bakteri adalah contoh-contoh surfaktan kationik. Surfaktan netral mengandung suatu gugus non-ion seperti suatu karbohidrat yang dapat berikatan-hidrogen dengan air.
Surfaktan menurunkan tegangan permukaan air dengan mematahkan ikatan-ikatan hidrogen pada permukaan. Mereka melakukan hal ini dengan menaruh kepala-kepala hidrofiliknya pada permukaan air dengan ekor-ekor hidrofobiknya terentang menjauhi permukaan air.
Kekurangan utama dari sabun adalah bahwa mereka mengendap dalam air sadah (air yang mengandung Ca2+, Mg2+, Fe3+, dan sebagainya) dan meninggalkan suatu residu.
Setelah perang dunia II, dikembangkan detergen sintetik. Seperti sabun, detergen adalah surfaktan anionik – garam dari sulfonat atau sulfat berantai panjang dari natrium (RSO3-Na+ dan ROSO3-Na+). Detergen mempunyai keunggulan dalam hal tidak mengendap bersama ion logam dalam air sadah.
Salah satu detergen yang pertama-tama digunakan adalah suatu p-alkilbenzenasulfonat dengan gugus alkil yang sangat bercabang. Bagian alkil senyawa ini disintesis dengan polimerisasi propilena dan dilekatkan pada cincin benzen dengan reaksi alkilasi Friedel-Craft. Sulfonasi, yang disusul dengan pengolahan menggunakan basa, menghasilkan deterjen itu.
Mikroorganisme tidak dapat menguraikan rantai hidrokarbon yang sangat bercabang itu. Detergen ini lolos lewat instalasi pengolahan limbah tanpa terubah, sehingga dapat menyebabkan sungai berbusa-busa dan dalam beberapa hal, bahkan memyebabkan air PAM berbusa. Pada tahun 1965, industri mengubahnya menjadi detergen yang biodegradabel, seperti senyawa berikut ini, dengan rantai menerus sebagai ganti rantai bercabang.
F. Fosfolipid
Fosfolipid adalah lipid yang mengandung gugus ester fosfat. Fosfogliserida, yaitu tipe fosfolipid, erat hubungannya dengan lemak dan minyak. Senyawa ini mengandung ester asam lemak pada dua posisi gliserol dengan suatu ester fosfat pada posisi ketiga. Fosfogliserida bersifat jelas terbedakan (distinctive) karena molekul-molekulnya berisi dua ekor hidrofobik yang panjang dan suatu gugus hidrofilik yang sangat polar – suatu gugus ion-dipolar. Oleh karena itu fosfogliserida bersifat surfaktan netral dan merupakan zat pengemulsi yang sangat bagus. Contohnya dalam mayonnaise, fosfogliserida dari kuning telur menjaga agar minyak nabati tetap teremulsi dalam cuka.
Lesitin (lecithin) atau sefalin (chepalin) merupakan dua tipe fosfogliserida yang dijumpai terutama dalam otak, sel syaraf dan hati hewan, juga dijumpai dalam kuning telur, kecambah, gandum, ragi, kedelai dan makanan lainnya. Lesitin adalah derivat kolina klorida HOCH2CH2N(CH3)3+ Cl-, yang terlihat dalm pengiriman impuls-impuls syaraf. Cefalin adalah derivat etanolamin, HOCH2CH2NH2.
Kelas-kelas fosfolipid, yang memiliki gugus eter vinil sebagai ganti gugus ester pada karbon satu gliserol, dan sfingolipid, dengan sfingomielin (sphingomyelin) sebagai contoh. Sfingomielin adalah suatu ester fosfat, bukan gliserol, tetapi dengan suatu alkohol alilik berantai panjang dengan suatu rantai samping amida.
Fosfolipid penting dalam membran sel. Membran-membran ini terbentuk dari protein yang tertanam dan menyatu dengan suatu lapisan rangkap (double layer) molekul-molekul fosfogliserida, yang ujung hidrofobiknya menghadap ke luar. Bagian hidrokarbon dari membran ini tidak memungkinkan lewatnya air, ion-ion, atau molekul-molekul polar. Fungsi protein-protein yang tertanam dalam membran tersebut adalah untuk memungkinkan lewatnya air, ion-ion dan senyawa lain secara selektif masuk dan ke luar sel. Diduga bahwa sfingolipid seperti sfingomielin menyumbangkan kekuatan pada sarung myelin (sel saraf) dengan saling menjalinkan rantai-rantai hidrokarbon mereka. Fosfolipid juga berperan sebagai penyekat listrik untuk sel saraf. Sarung myelin dari orang yang menderita sklerosis kekurangan rantai hidrokarbon panjang ini.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Kimia Organik jilid 2 edisi ketiga Ralp J. Fessenden , Joan S. Fessenden UNIVERSITY OF MONTANA
Organic Chemistry, Morisson&Boyd
Tugas kimia,fisika,farmasetika,
Selasa, 22 Juni 2010
atom carbon dan atom hydrogen
Classes of carbon atoms and hydrogen atoms
It has been found extremely useful to classify each caibon atom of an alkane with respect to the number of other carbon atoms to which it is attached.
SEC. 3.12 PHYSICAL PROPERTIES 85
A primary (7) carbon atom is attached to only one other carbon atom; a secondary
(2) is attached to two others; and a tertiary (3) to three others. For example:
Each hydrogen atom is similarly classified, being given the same designation of primary, secondary, or tertiary as the carbon atom to which it is attached. We shall make constant use of these designations in our consideration of the
relative reactivities of various parts of an alkane molecule.
Physical properties
The physical properties of the alkanes follow the pattern laid down bymethane, and are consistent with the alkane structure. An alkane molecule is held together entirely by covalent bonds. These bonds either join two atoms of the same kind and hence are non-polar, or join two atoms that differ very little in electronegativity and hence are only slightly polar. Furthermore, these bonds are directed in a very symmetrical way, so that the slight bond polarities tend to cancel out. As a result an alkane molecule is either non-polar or very weakly polar As we have seen ^Sec. 1.19), the forces holding non-polar molecules together (van der Waals forces) arc weak and of very short range; they act only between the portions of different molecules that are in close contact, that is, between the surfaces of molecules. Within a family, therefore, we would expect that the larger the molecule and hence the larger its surface area the stronger the intermolecular forces.
Table 3.3 lists certain physical constants for a number of the w-alkanes. As
we can see, the boiling points and melting points rise as the number of carbons increases. The processes of boiling and melting require overcoming the intermolecular forces of a liquid and a solid; the boiling points and melting points rise because these intermolecular forces increase as the molecules get larger. Except for the very small alkanes, the boiling point rises 20 to 30 degrees for each carbon that is added to the chain ; we shall find that this increment of 20-30 per carbon hofds not only for the alkanes but also for each of the homologous series that we shall study. The increase in melting point is not quite so regular, since the intermolecular forces in a crystal depend not only upon the size of the molecules but also upon how well they fit into a crystal lattice. The first four i-alkanes are gases, but, as a result of the rise in boiling point and melting point with increasing chain length, the next 13 (C$Cn) are liquids, and those- containing 18 carbons or more are solids.
There are somewhat smaller differences among the boiling points of alkanes that have the same carbon number but different structures. On pages 77 and 80 the boiling points of the isomeric butanes, pentanes, and hexanes are given. We see that in every case a branched-chain isomer has a lower boiling point than a straight-chain isomer, and further, that the more numerous the branches, the lower the boiling point. Thus w-butane has a boiling point of and isobutane 12.m w-Pentane has a boiling point of 36, isopentane with a single branch 28, and neopentane with two branches 9.5. This effect of branching on boiling point is observed within all families of organic compounds. That branching should lower the boiling point is reasonable: with branching the shape of the molecule tends to approach that of a sphere; and as this happens the surface area decreases, with the result that the intermolecular forces become weaker and are overcome at a lower temperature. In agreement with the rule of thumb, "like dissolves like," the alkanes are
soluble in non-polar solvents such as benzene, ether, and chloroform, and are insoluble in water and other highly polar solvents. Considered themselves as solvents, the liquid alkanes dissolve compounds of low polarity and do not dissolve compounds of high polarity.
The density increases with size of the alkanes, but tends to level off at about 0.8; thus all alkanes are less dense than water. It is not surprising that nearly all organic compounds are less dense than water since, like the alkanes, they consist chiefly of carbon and hydrogen. In general, to be denser than water a compound must contain a heavy atom like bromine or iodine, or several atoms like chlorine.
Industrial source
The principal source of alkanes is petroleum, together with the accompanying natural gas. Decay and millions of years of geologicaTstresses have transformed the complicated organic compounds that once made up living plants or animals into a mixture of alkanes ranging in size from one carbon to 30 or 40 carbons. Formed along with the alkanes, and particularly abundant in California petroleum, are cycloalkanes (Chap. 9), known to the petroleum industry as naphthenes. The other fossil fuel, coal, is a potential second source of alkanes: processes are being developed to convert coal, through hydrogenation, into gasoline and fuel oil, and into synthetic gas to offset anticipated shortages of natural gas. Natural gas contains, of course, only the more volatile alkanes, that is, those of low molecular weight; it consists chiefly of methane and progressively smaller amounts of ethane, propane, and higher alkanes. For example, a sample taken from a pipeline supplied by a large number of Pennsylvania wells contained methane, ethane, and propane in the ratio of 12:2: 1, with higher alkanes making up only 3% of the total. The propane-butane fraction is separated from the more volatile components by liquefaction, compressed into cylinders, and sold as bottled gas in areas not served by a gas utility. Petroleum is separated by distillation into the various fractions listed in Table 3.4; because of the relationship between boiling point and molecular weight, this amounts to a rough separation according to carbon number. Each fraction is still a very complicated mixture, however, since it contains alkanes of a range of carbon numbers, and since each carbon number is represented by numerous isomers. The use that each fraction is put to depends chiefly upon its volatility or viscosity, and it matters very little whether it is a complicated mixture or a single pure compound. (In gasoline, as we shall see in Sec. 3.30, the structures of the components are of key importance.) The chief use of all but the non-volatile fractions is as fuel. The gas fraction, like natural gas, is used chiefly for heating. Gasoline is used in those internal combustion engines that require a fairly volatile fuel, kerosene is used in tractor and jet engines, and gas oil is used in Diesel engines. Kerosene and gas oil are also used for heating purposes, the latter being the familiar "furnace oil."
The lubricating oil fraction, especially that from Pennsylvania crude oil (paraffin-base petroleum), often contains large amounts of long-chain alkanes (C20-C34) that have fairly high melting points. If these remained in the oil, they might crystallize to waxy solids in an oil line in cold weather. To prevent this, the oil is chilled and the wax is removed by filtration. After purification this is sold as solid paraffin wax (m.p. 50-55) or used in petrolatum jelly (Vaseline). Asphalt is used in roofing and road building. The coke that is obtained from paraflin-base crude oil consists of complex hydrocarbons having a high carbon-to-hydrogen ratio; it is used as a fuel or in the manufacture of carbon electrodes for the electrochemical industries. Petroleum ether and ligroin are useful solvents for many organic materials of low polarity. In addition to being used directly as just described, certain petroleum fractions are converted into other kinds of chemical compounds. Catalytic isomerization
changes straight-chain alkanes into branched-chain ones. The cracking process
(Sec. 3.31) converts higher alkanes into smaller alkanes and alkenes, and thus
increases the gasoline yield; it can even be used for the production of "natural"
gas. In addition, the alkenes thus formed are perhaps the most important raw
materials for the large-scale synthesis of aliphatic compounds. The process of
catalytic reforming (Sec. 12.4)converts alkanes and cycloalkanesinto aromatic hydrocarbons
and thus helps provide the raw material for the large-scale synthesis of
another broad class of compounds.
Industrial source vs. laboratory preparation
We shall generally divide the methods of obtaining a particular kind of
organic compound into two categories: industrial source and laboratory preparation.
We may contrast the two in the following way, although it must be realized that
there are many exceptions to these generalizations.
An industrial source must provide large amounts of the desired material at
the lowest possible cost. A laboratory preparation may be required to produce
only a few hundred grams or even a few grams; cost is usually of less importance
than the time of the investigator.
For many industrial purposes a mixture may be just as suitable as a pure
compound; even when a single compound is required, it may be economically
feasible to separate it from a mixture, particularly when the other components
may also be marketed. In the laboratory a chemist nearly always wants a single
pure compound. Separation of a single compound from a mixture of related
substances is very time-consuming and frequently does not yield material of the
required purity. Furthermore, the raw material for a particular preparation may
well be the hard-won product of a previous preparation or even series of preparations, and hence he wishes to convert it as completely as possible into his desired
compound. On an industrial scale, if a compound cannot be isolated from naturally
occurring material, it may be synthesized along with a number of related
compounds by some inexpensive reaction. In the laboratory, whenever possible,
a reaction is selected that forms a single compound in high yield.
In industry it is frequently worth while to work out a procedure and design
apparatus that may be used in the synthesis of only one member of a chemical
family. In the laboratory a chemist is seldom interested in preparing the same
compound over and over again, and hence he makes use of methods that are
applicable to many or all members of a particular family.
In our study of organic chemistry, we shall concentrate our attention on
versatile laboratory preparations rather than on limited industrial methods. In
learning these we may, for the sake of simplicity, use as examples the preparation
of compounds that may actually never be made by the method shown. We may
discuss the synthesis of ethane by the hydrogenation of ethylene, even though we
can buy all the ethane we need from the petroleum industry. However, if we know
how to convert ethylene into ethane, then, when the need arises, we also know how
to convert 2-methyl-l-hexene into 2-methylhexane, or cholesterol into cholestanol,
or, for that matter, cottonseed oil into oleomargarine.
The Grignard reagent: an organometallic compound
When a solution of an alkyl halide in dry ethyl ether, (C2H5)2O, is allowed to
stand over turnings of metallic magnesium, a vigorous reaction takes place: the
solution turns cloudy, begins to boil, and the magnesium metal gradually disappears.
The resulting solution is known as a Grignard reagent, after Victor Grignard
(of the University of Lyons) who received the Nobel prize in 1912 for its
discovery. It is one of the most useful and versatile reagents known to the organic
chemist.
The Grignard reagent has the general formula RMgX, and the general name
alkylmagnesium halide. The carbon-magnesium bond is covalent but highly polar,
with carbon pulling electrons from electropositive magnesium; the magnesiumhalogen
bond is essentially ionic.
R:Mg+:X:-
Since magnesium becomes bonded to the same carbon that previously held
halogen, the alkyl group remains intact during the preparation of the reagent.
Thus 7i-propyl chloride yields /i-propylmagnesium chloride, and isopropyl chloride
yields isopropylmagnesium chloride.
The Grignard reagent is the best-known member of a broad class of substances,
called organometallic compounds, in which carbon is bonded to a metal:
lithium, potassium, sodium, zinc, mercury, lead, thallium almost any metal
known. Each kind of organometallic compound has, of course, its own set of
properties, and 'its particular uses depend on these. But, whatever the metal, it is
less electronegative than carbon, and the carbon-metal bond like the one in the
Grignard reagent is highly polar. Although the organic group is not a fullfledged
carbanion an anion in which carbon carries negative charge it nevertheless
has considerable carbanion- character. As we shall see, organometallic
compounds owe their enormous usefulness chiefly to one common quality: they
can serve as a source from which carbon is readily transferred with its electrons.
The Grignard reagent is highly reactive. It reacts with numerous inorganic
compounds including water, carbon dioxide, and oxygen, and with most kinds of
organic compounds ; in many of these cases the reaction provides the best way to
make a particular class of organic compound.
The reaction with water to form an alkane is typical of the behavior of the
Grignard reagent and many of the more reactive organometallic compounds
toward acids. In view of the marked carbanion character of the alkyl group, we
may consider the Grignard reagent to be the magnesium salt, RMgX, of the
extremely weak acid, R H. The reaction
is simply the displacement of the weaker acid, R H, from its salt by the stronger
acid, HOH.
An alkane is such a weak acid that it is displaced from the Grignard reagent
by compounds that we might ordinarily consider to be very weak acids themselves,
or possibly not acids at all. Any compound containing hydrogen attached to
oxygen or nitrogen is tremendously more acidic than an alkane, and therefore can
decompose the Grignard reagent: for example, ammonia or methyl alcohol.
For the preparation of an alkane, one acid is as good as another, so we naturally
choose water as the most available and convenient.
Problem 3.9 (a) Which alkane would you expect to get by the action of water
on w-propylmagnesium chloride? (b) On isopropylmagnesium chloride? (c) Answer
(a) and (b) for the action of deuterium oxide ("heavy water," D2O).
Problem 3.10 On conversion into the Grignard reagent followed by treatment
with water, how many alkyl bromides would yield: (a) //-pentane; (b) 2-methylbutane;
(c) 2,3-dimethylbutane; (d) neopentane? Draw the structures in each case.
Non-rearrangement of free radicals. Isotopic tracers
Our interpretation of orientation (Sec. 3.21) was based on an assumption that
we have not yet justified: that the relative amounts of isomeric halides we find in
the product reflect the relative rates at which various free radicals were formed
from the alkane. From isobutane, for example, we obtain twice as much isobutyl
chloride as te/7-butyl chloride, and we assume from this that, by abstraction of
hydrogen, isobutyl radicals are formed twice as fast as /erf-butyl radicals.
Yet how do we know, in this case, that every isobutyl radical that is formed
ultimately yields a molecule of isobutyl chloride? Suppose some isobutyl radicals
were to change- by rearrangement of atoms into /react with chlorine to yield ter/-butyl chloride. This supposition is not so far-
fetched as we, in our present innocence, might think; the doubt Jt raises is a very real one. We shall shortly see that another kind of reactive intermediate particle, the carbonium ion, is \ery prone to rearrange, with less stable ions readil> changing into more stable ones (See. 5.22). H. C. Brown (of Purdue University) and Glen Russell (no\\ of loua State University) decided to test the possibility that free radicals, like carbonium ions, might rearrange, and chose the chlorination of isobutane as a good test case,
because of the large difference in stability between w/-butyl and isobutyl radicals.
If rearrangement of alkyl radicals can indeed lake place, it should certainly happen
here.
What the problem comes down to is this: does every abstraction of primary
hydrogen lead to isobuiyl chloride, and every abstraction of tertiary hydrogen lead
to tert-butyl chloride? This, we might say, we could never know, because all
hydrogen atoms are exactly alike. But are they? Actually, three isotopes of hydrogen
exist: 'H, profhtm, ordinary hydrogen: 2H or D, deuterium* heavy hydrogen;
and 3 H or T, tritium. Protium and deuterium are distributed in nature in
the ratio of 5000: 1. '(Tritium, the unstable, radioactive isotope, is present in
traces, but can be made by neutron bombardment of 6 Li.) Modern methods of
separation of isotopes have made very pure deuterium available, at moderate
prices, in the form of deuterium oxide. D2O, heavy water.
Brown and Russell prepared the deuterium-labeled isobutane I,
photochemically chlorinated it, and analyzed the products. The DClrHCl ratio
(determined by the mass spectrometer) was found to be equal (within experimental
error) to the tert-buiyl chloride: isobutyl chloride ratio. Clearly, every abstraction
of a tertiary hydrogen (deuterium) gave a molecule of tert~buty\ chloride, and every
abstraction of a primary hydrogen (protiwn) gave a molecule of isobutyl chloride.
Rearrangement of the intermediate free radicals did not occur.
All the existing evidence indicates quite strongly that, although rearrangement
of free radicals occasionally happens, it is not very common and does not involve
simple alkyl radicals.
Problem 3.18 (a) What results would have been obtained if some isobutyl
radicals had rearranged to tert-buiyl radicals? (b) Suppose that, instead of rearranging,
isobutyl radicals were, in effect, converted into terr-butyl radicals by the reaction
What results would Brown and Russell have obtained?
Problem 3.19 Keeping in mind the availability of D2O, suggest a way to make I
from ter/~butyl chloride. (Hint: See Sec, 3.16.)
The work of Brown and Russell is just one example of the way in which we can
gain insight into a chemical reaction by using isotopically labeled compounds. We
shall encounter many other examples in which isotopes, used either as tracers, as
in this case, or for the detection of isotope effects (Sec. 11.15), give us information
about reaction mechanisms that we could not get in any other way.
Besides deuterium and tritium, isotopes commonly used in organic chemistry
include: 14C, available a 18O, as H2
8O; 15N, as 15NH3 ,
15N(V, and 15NO2
~
;
36
C1, as chlorine or chloride; 131
I, as iodide.
Problem 3.20 Bromination of methane is slowed down by the addition of
HBr (Problem 14, p. 71); this is attributed to the reaction
CH3
- + HBr > CH4 + Brwhich,
as the reverse of one of the chain-carrying steps, slows down bromination.
How might you test whether or not this reaction actually occurs in the bromination
mixture?
Analysis of alkanes
An unknown compound is characterized as an alkane on the basis of negative
evidence.
Upon qualitative elemental analysis, an alkane gives negative tests for all
elements except carbon and hydrogen. A quantitative combustion, if one is carried
out, shows the absence of oxygen; taken with a molecular weight determination,
the combustion gives the molecular formula, -CnH2n + 2 which is that of an alkane.
An alkane is insoluble not only in water but also in dilute acid and base and in
concentrated sulfuric acid. (As we shall see, most kinds of organic compounds
dissolve in one or more of these solvents.)
An alkane is unreactive toward most chemical reagents. Its infrared spectrum
lacks the absorption bands characteristic of groups of atoms present in other families
of organic compounds (like OH, C~O, ,C C, etc.).
Once the unknown has been characterized as an alkane, there remains the
second half of the problem: finding out which alkane.
On the basis of its physical properties boiling point, melting point, density,
refractive index, and, most reliable of all, its infrared and mass spectra it may be
identified as a previously studied alkane of known structure.
If it turns out to be a new alkane, the proof of structure can be a difficult
job. Combustion and molecular weight determination give its molecular formula.
Clues about the arrangement of atoms are given by its infrared and nmr spectra.
(For compounds like alkanes, it may be necessary to lean heavily on x-ray diffraction
and mass spectrometry.)
Final proof lies in synthesis of the unknown by a method that can lead only
to the particular structure assigned.
(The spectroscopic analysis of alkanes will be discussed in Sees. 13.15-13.16.)
Alkena
The functional group
The characteristic feature of the alkene structure is the carbon-carbon double
bond. The characteristic reactions of an alkene are those that take place at the
double bond. The atom or group of atoms that defines the structure of a particular
family of organic compounds and, at the same time, determines their properties is
called the functional group.
In alkyl halides the functional group is the halogen atom, and in alcohols the
OH group; in alkcnes it is the carbon- carbon double bond. We must not forget
that an alkyl halide, alcohol, or alkene has alkyl groups attached to these functional
groups; under the proper conditions, the alkyl portions of these molecules undergo
the reactions typical of alkanes. However, the reactions that are characteristic of
each of these compounds are those that occur at the halogen atom or the hydroxyl
group or the carbon-carbon double bond.
A large part of organic chemistry is therefore the chemistry of the various
functional groups. We shall learn to associate a particular set of properties with a
particular group wherever we may find it. When we encounter a complicated
molecule, which contains a number of different functional groups, we may expect
the properties of this molecule to be roughly a composite of the properties of the
various functional groups. The properties of a particular group may be modified,
of course, by the presence of another group and it is important for us to understand
these modifications, but our point of departure is the chemistry of individual
functional groups.
Analysis of alkencs
The functional group of an alkene is the carbon-carbon double bond. To
characterize an unknown compound as an alkene, therefore, we must show that
it undergoes the reactions typical of the carbon-carbon double bond. Since there
are so many of these reactions, we might at first assume that this is an easy job.
But let us look at the problem more closely.
First of all, which of the many reactions of alkenes do we select? Addition
of hydrogen bromide, for example 9 Hydrogenation ? Let us imagine ourselves
in the laboratory, working with gases and liquids and solids, with flasks and test
tubes and bottles.
We could pass dry hydrogen bromide from a tank through a test tube of an
unknown liquid. But what would we see? How could we tell whether or not a
reaction takes place? A colorless gas bubbles through a colorless liquid; a difierent
colorless liquid may or may not be formed.
We could attempt to hydrogenate the unknown compound. Here, we might
say, we could certainly tell whether or not reaction takes place: a drop in the
hydrogen pressure would show us that addition had occurred. This is true, and
hydrogenalion can be a useful analytical tool. But a catalyst must be prepared,
and a fairly elaborate piece of apparatus must be used ; the whole operation might
take hours.
Whenever possible, we select for a characteritation test a reaction that is
rapidly and conveniently carried out, and that gives rise to an easily observed change.
We select a test that requires a few minutes and a few test tubes, a test in which
a color appears or disappears, or bubbles of gas are evolved, or a precipitate forms
or dissolves.
Experience has shown that an alkene is best characterized, then, by its property
of decolorizing both a solution of bromine in carbon tetrachloride (Sec. 6.5) and
a cold, dilute, neutral permanganate solution (the Baeyer test. Sec. 6.20). Both
tests are easily carried out; in one, a red color disappears, and in the other, a purple
color disappears and is replaced by brown manganese dioxide.
Granting that we have selected the best tests for the characterization of alkenes,
let us go on to another question. We add bromine in carbon tetrachloride to an
unknown organic compound, let us say, and the red color disappears. What
does this tell us? Only that our unknown is a compound that reacts with bromine.
It may be an alkene. But it is not enough merely to know that a particular kind
ofcompound reacts with a given reagent; we must also know what other kinds of
compounds also react with the reagent. In this case, the unknown may equally
well be an alkyne. (It may also be any of a number of compounds that undergo
rapid substitution by bromine; in that case, however, hydrogen bromide would be
evolved and could be detected by the cloud it forms when we blow our breath over
the test tube.)
In the same way, decolorization of permanganate does not prove that a compound
is an alkene, but only that it contains some functional group that can be
oxidized by permanganate. The Compound may be an atttene; but it may instead
be a& atkyne, an aldehyde, or any of a number of easily oxidized compounds.
It may even be a compound that is contaminated with an Impurity that fa oxidised;
alcohols, for example, are not oxidized under tlrtse conditions, but often contain
impurities that ore. We can usually rule out this by making sure that more than a
drop or two of the reagent is decolorized*
By itself, a single characterization test seldom proves that an unknown is
one particular kind of compound. It may limit tte number of possibilities, so
that a final decision can then be made on tbe ba*m of ad4itloaal tests. Of, conversely,
if certain possibilities have already been eHmto*trf, a tingle tort may ponnk
a final choice to be made. Thus, the bromine or pwmaganate test would to
sufficient to differentiate an alkene from an alkane, ot an aJfcene from an alky!
halide, or an alkene from an alcohol.
The tests most used in characterizing alkenes, then, are the following: (a) rapid
decolorization of bromine in carbon tetrachloride without evolution of HBr,
a test also given by alkynes; (b) decolorization of cold, dilute, neutral, aqueous
permanganate solution (the Baeyer test), a test also given by alkynes and aldehydes.
Also helpful is the solubility of alkenes in cold concentrated sulfuric acid, a test
also given by a great many other compounds, including all those containing oxygen
(they form soluble oxonium salts) and compounds that are readily sulfonated
(Sees. 12.11 and 17.8). Alkanes or alkyl halides are not soluble in cold concentrated
sulfuric acid.
Of the compounds we have dealt with so far, alcohols also dissolve in sulfuric
acid. Alcohols can be distinguished from alkenes, however, by the fact that
alcohols give a negative test with bromine in carbon tetrachloride and a negative
Baeyer test so long as we are not misled by impurities. Primary and secondary
alcohols ore oxidized by chromic anhydride, CrO3 , in aqueous sulfuric acid:
within two seconds, the clear orange solution turns blue-green and becomes
opaque.
Tertiary alcohols do not give this test; nor do alkenes.
Problem 6.19 Describe simple chemical tests (if any) that would distinguish j
between: (a) an alkene and an alkane; (b) an alkene and an alkyl halide; (c) an alkenc
"
and a secondary alcohol; (d) an alkene, an alkane, an alkyl halide, and a secondary
alcohol. Tell exactly what you would do and see.
Problem 6.20 Assuming the choice to be limited to alkane, alkene, alkyl halide,
secondary alcohol, and tertiary alcohol, characterize compounds A, B, C, D, and E
on the basis of the following information:
Once characterized as an alkene, an unknown may then be identified as a
previously reported alkene on the basts of its physical properties, including its
infrared spectrum and molecular weight. Proof of structure of a new compound
is best accomplished by degradation: cleavage by ozone or permanganate, followed
by identification of the fragments formed (Sec. 6.29).
(Spectroscopic analysis of alkenes will be discussed in Sees. 13.15-13.16.)
Structure and nomenclature of ethers
Ethers are compounds of the general formula R -O R, Ar O R, or
Ar-O Ar.
To name ethers we usually name the two groups that are attached to oxygen,
and follow these names by the word ether:
Physical properties of ethers
Since the C O C bond angle is not 180, the dipole moments of the two
C O bonds do not cancel each other; consequently, ethers possess a small net
dipole moment (e.g., 1.18 D for ethyl ether).
This weak polarity does not appreciably affect the boiling points of ethers,
which are about the same as those of alkanes having comparable molecular weights,
and much lower than those of isomeric alcohols. Compare, for example, the
boiling points of /i-heptane (98), methyl /i-pentyl ether (100), and w-hexyl alcohol
(157). The hydrogen bonding that holds alcohol molecules strongly together is
not possible for ethers, since they contain hydrogen bonded only to carbon (Sec.
15.4):
On the other hand, ethers show a solubility in water comparable to that of
the alcohols, both ethyl ether and w-butyl alcohol, for example, being soluble to the
extent of about 8 g per 100 g of water. We attributed the water solubility of the
lower alcohols to hydrogen bonding between water molecules and alcohol molecules;
presumably the water solubility of ether arises in the same way.
Cyclic ethers
In their preparation and properties, most cyclic ethers are just like the ethers
we have already studied: the chemistry of the ether linkage is essentially the same
whether it forms part of an open chain or part of an aliphatic ring.
Problem 17.14 1,4-Dioxane is prepared industrially (for use as a water-soluble
solvent) by dehydration of an alcohol. What alcohol is used?
Problem 17.15 The unsaturated cyclic ether fnran can readily be made from sub-
Stances isolated from oat hulls and corncobs; one of its important uses involves its
conversion into (a) tetrahydrofnnin, and (b) 1,4-dichlorobutane. Using your knowledge
of alkene chemistry and ether chemistry, show hens these conversions can be carried
out.
Analysis of ethers
Because of the low reactivity of the functional group, the chemical behavior
of ethers both aliphatic and aromatic resembles that of the hydrocarbons to
which they are related. They are distinguished from hydrocarbons, however,
by their solubility in cold concentrated sulfuric acid through formation of oxonium
salts.
Problem 17.23 Because of their highly reactive benzene rings, aryf ethers may
decolorize bromine in carbon tetrachloride. How coutd this behavior be distinguished
from the usual unsaturation test? (Hint: Sec Sec. 6.30.)
Problem 17.24 Expand the table you made in Problem 16.10, p. 536, to include
ethers.
Problem 17.25 Describe simple chemical tests (if any) that would distinguish
between an aliphatic ether and (a) an aikane; (b) an alkene; (c) an alkyne; (d) an
alkyl halide; (e) a primary or secondary alcohol; (f) a tertiary alcohol; (g) an alkyl
aryl ether
Identification as a previously reported ether is accomplished through the usual
comparison of physical properties. This can be confirmed by cleavage with hot
concentrated hydriodic acid (Sec, 17.7) and identification of one or both products.
Aromatic ethers can be converted into solid bromination or nitration products
whose melting points can then be compared with those of previously reported
derivatives.
Proof of structure of a new ether would involve cleavage by hydriodic acid
and identification of the products formed. Cleavage is used quantitatively in the
Zeisel method to show the number of alkoxyl groups in an alkyl aryl ether.
Problem 17.26 How many methoxyl groups per molecule of papaverine would
be indicated by the following results of a Zeisel analysis ?
Treatment of papaverine (C2oH2|O4N, one of the opium alkaloids) with hot
concentrated hydriodic acid yields CHJ, indicating the presence of the methoxyl
group OCHj. When 4.24 mg of papaverine is treated with hydriodic acid and the
CH3 I thus formed is passed into alcoholic silver nitrate, 11.62 mg of silver iodide is
obtained.
17.17 Spectroscopic analysis of ethers
Infrared. The infrared spectrum of an ether does not, of course, show the
O H band characteristic of alcohols; but the strong band due to C O stretching
PROBLEMS 571
is still present, in the 1060-1300 cm" 1
range, and is the striking feature of the
spectrum. (See Fig. 17.1).
CO stretching, strong, broad
Alkyl ethers 1060-1 150 cm" 1
Aryl and vinyl ethers 1200-1275 cm" 1
(and, weaker, at 1020-1075 cm' 1
)
Carboxylic acids and esters show C O stretching, but show carbonyl absorption
as well. (For a comparison of certain oxygen compounds, see Table 20.3, p. 689.)
Alkohol
Structure
Alcohols are compounds of the general formula ROH, where R is any alkyl
or substituted alkyl group. The group may be primary, secondary, or tertiary;
it may be open-chain or cyclic; it may contain a double bond, a halogen atom,
or an aromatic ring. For example:
All alcohols- contain the hydroxyl (- OH) group, which, as the functional
group, determines the properties characteristic of this family. Variations in
structure of the R group may affect the rate at which the alcohol undergoes certain
reactions, and even, in a few cases, may affect the kind of reaction.
Compounds in which the hydroxyl group is attached directly to an aromatic
ring are not alcohols; they are phenols, and differ so markedly from the alcohols
that we shall consider them in a separate chapter.
Classification
We classify a carbon atom as primary, secondary, or tertiary according to the
number of other carbon atoms attached to it (Sec. 3.1 1). An alcohol is classified
according to the kind of carbon that bears the OH group:
One reaction, oxidation, which directly involves the hydrogen atoms attached
to the carbon bearing the OH group, takes an entirely different course for each
class of alcohol. Usually, however, alcohols of different classes differ only in
rate or mechanism of reaction, and in a way consistent with their structures. Certain
substituents may affect reactivity in such a way as to make an alcohol of one class
resemble the members of a different class; benzyl alcohol, for example, though
formally a primary alcohol, often acts like a tertiary alcohol. We shall find that
these variations, too, are consistent with the structures involved.
Physical properties
The compounds we have studied so far, the various hydrocarbons, are nonpolar or nearly so, and have the physical properties that we might expect of suchcompounds: the relatively low melting points and boiling points that are characteristic
of molecules with weak intermolecular forces; solubility in
non-polar
solvents and insolubility in polar solvents like water.
Alcohols, in contrast, contain the very polar OH group. In particular, this
group contains hydrogen attached to the very electronegative element, oxygen,
and therefore permits hydrogen bonding (Sec. 1.19). The physical properties (Table
15.1) show the effects of this hydrogen bonding.
Let us look first at boiling points. Among hydrocarbons the factors that
determine boiling point seem to be chiefly molecular weight and shape; this is
to be expected of molecules that are held together chiefly by van der Waals forces.
Alcohols, too, show increase in boiling point with increasing carbon number, and
decrease in boiling point with branching. But the unusual thing about alcohols is
that they boil so high: as Table 15.2 shows, much higher than hydrocarbons of
the same molecular weight, and higher, even, than many other compounds of
considerable polarity. How are we to account for this?
The answer is, of course, that alcohols, like water, are associated liquids:
their abnormally high boiling points are due to the greater energy needed to break
the hydrogen bonds that hold the molecules together. Although ethers and aldehydes
contain oxygen, they contain hydrogen that is bonded only to carbon; these
hydrogens are not positive enough to bond appreciably with oxygen.
Infrared spectroscopy (Sec. 13.4) has played a key role in the study of hydrogen
bonding. In dilute solution in a non-polar solvent like carbon tetrachloriue
(or in the gas phase), where association between molecules is minimal, elhanol,
for example, shows an O H stretching band at 3640 cm" 1
. As the concentration
of ethanol is increased, this band is gradually replaced by a broader band at
3350 cm" 1
. The bonding of hydrogen to the second oxygen weakens the O H
bond, and lowers the energy and hence the frequency of vibration.
The solubility behavior of alcohols also reflects their ability to form hydrogen
bonds. In sharp contrast to hydrocarbons, the lower alcohols are miscible with
water. Since alcohol molecules are held together by the same sort of intermodular
forces as water molecules, there can be mixing of the two kinds of molecules: the
energy required to break a hydrogen bond between two water molecules or two
alcohol molecules is provided by formation of a hydrogen bond between a water
molecule and an alcohol molecule.
This is true, however, only for the lower alcohols, where the OH group
constitutes a large portion of the molecule. A long aliphatic chain with a small
OH group at one end is mostly alkane, and its physical properties show this.
The change in solubility with carbon number is a gradual one: the first three
primary alcohols are miscible with water; -butyl alcohol is soluble to the extent
of 8 g per 100 g water; w-pentyl, 2 g; w-hexyl, 1 g; and the higher alcohols still less.
For practical purposes we consider that the borderline between solubility and
insolubility in water occurs at about four to five carbon atoms for normal primary
alcohols.
Polyhydroxy alcohols provide more than one site per molecule for hydrogen
bonding, and their properties reflect this. The simplest glycol, ethylene glycol,
boils at 197. The lower glycols are miscible with water, and those containing as
many as seven carbon atoms show appreciable solubility in water. (Ethylene glycol
owes its use as an antifreeze e.g. Prestone to its high boiling point, low freezing
point, and high solubility in water.)
Chemistry of the OH group
The chemical properties of an alcohol, ROH, are determined by its functional
group, OH, the hydroxyl group. When we have learned the chemistry of the
alcohols, we shall have learned much of the chemistry of the hydroxyl group in
whatever compound it may occur; we shall know, in part at least, what to expect
of hydroxyhalides, hydroxyacids, hydroxyaldehydes, etc.
Reactions of an alcohol can involve the breaking of either of two bonds:
the C OH bond, with removal of the OH group; or the O H bond, with
removal of H. Either kind of reaction can involve substitution, in which a
group replaces the OH or -H, or elimination, in which a double bond is
formed.
Differences in the structure of R cause differences in reactivity, and in a few
cases even profoundly alter the course of the reaction. We shall see what some of
these effects of structure on reactivity are, and how they can be accounted for.
REACTIONS OF ALCOHOLS C-OH BOND CLEAVAGE
Reactivity of ROH: 3 > 2 > 1
Oxidation.
The compound that is formed by oxidation of an alcohol depends upon the
number of hydrogens attached to the carbon bearing the OH group, that is,
upon whether the alcohol is primary, secondary, or tertiary. We have already
encountered these products aldehydes, ketones, and carboxylic acids and should
recognize them from their structures, even though we have not yet discussed much
of their chemistry. They are important compounds, and their preparation by the
oxidation of alcohols is of great value in organic synthesis (Sees. 16.9 and 16.10).
The number of oxidizing agents available to the organic chemist is growing
at a tremendous rate. As with all synthetic methods, emphasis is on the development
of highly selective reagents, which will operate on only one functional group
in a complex molecule, and leave the other functional groups untouched. Of the
many reagents that can be used to oxidize alcohols, we can consider only the most
common ones, those containing Mn(VII) and Cr(VI).
Primary alcohols can be oxidized to carboxylic acids, RCOOH, usually by
heating with aqueous KMnO4 . When reaction is complete, the aqueous solution
of the soluble potassium salt of the carboxylic acid is filtered from MnO2 , and the
acid is liberated by the addition of a stronger mineral acid.
Primary alcohols can be oxidized to aldehydes, RCHO, by the use of K2Cr2O7 .
Since, as we shall see (Sec. 19.9), aldehydes are themselves readily oxidized to
acids, the aldehyde must be removed from the reaction mixture by special techniques
before it is oxidized further.
Secondary alcohols are oxidized to ketones, R2CO, by chromic acid in a form
selected for the job at hand: aqueous K2Cr2O7 , CrO3 in glacial acetic acid, CrO3
in pyridine, etc. Hot permanganate also oxidizes secondary alcohols; it is seldom
used for the synthesis of ketones, however, since oxidation tends to go past the
ketone stage, with breaking of carbon-carbon bonds.
With no hydrogen attached to the carbinol carbon, tertiary alcohols are not
oxidized at all under alkaline conditions. If acid is present, they are rapidly dehydrated
to alkenes, which are then oxidized.
Let us look briefly at the mechanism of just one oxidation reaction, to see
the kind of thing that is involved here. Oxidation of secondary alcohols by Cr(VI) is
believed to involve (1) formation of a chromate ester, which (2) loses a proton and an
HCrO3
~
i n to form the ketone. It is possible that the proton is lost to an oxygen
of the ester group in a cyclic mechanism (2a). Additional alcohol is then oxidized,
evidently by reactions (3)-(5), with chromium finally reaching the Cr(III) state.
The difficult step in ail this is breaking the carbon-hydrogen bond; this is
made possible by the synchronous departure of HCrO3 ~, in what is really an E2
elimination but here with the formation of a carbon-oxygen double bond.
In connection with analysis, we shall encounter two reagents used to oxidize
alcohols of special kinds: (a) hypohalite (Sec. 16.11), and (b) periodic acid (Sec.
Analysis of alcohols. Characterization. lodoform test
Alcohols dissolve in cold concentrated sulfuric acid. This property they share
with alkenes, amines, practically all compounds containing oxygen, and easily
sulfonated compounds. (Alcohols, like other oxygen-containing compounds,
form oxonium salts, which dissolve in the highly polar sulfuric acid.)
Alcohols are not oxidized by cold, dilute, neutral permanganate (although
primary and secondary alcohols are, of course; oxidized by permanganate under
more vigorous conditions). However, as we have seen (Sec. 6.30), alcohols often
contain impurities that are oxidized under these conditions, and so the permanganate
test must be interpreted with caution.
Alcohols do not decolorize bromine in carbon tetrachloride. This property
serves to distinguish them from alkenes and alkynes.
Alcohols are further distinguished from alkenes and alkynes and, indeed,
from nearly every other kind of compound by their oxidation by chromic anhydride,
CrO3 , in aqueous sulfuric acid: within two seconds, the clear orange
solution turns blue-green and becomes opaque.
Tertiary alcohols do not give this test. Aldehydes do, but are easily differentiated
in other ways (Sec. 19.17).
Reaction of alcohols with sodium metal, with the evolution of hydrogen
gas, is of some use in characterization; a wet compound of any kind, of course,
will do the same thing, until the water is used up.
The presence of the OH group in a molecule is often indicated by the formation
of an ester upon treatment with an acid chloride or anhydride (Sec. 18.16).
Some esters are sweet-smelling; others are solids with sharp melting points, and
can be derivatives in identifications. (If the molecular formulas of starting material
and product are determined, it is possible to calculate how many OH groups are
present.)
Make a table to show the response of each kind of compound
we have studied so far toward the following reagents: (a) cold concentrated H2SO4 ;
(b) cold, dilute, neutral KMnO4 ; (c) Br, in CC14 ; (d) CrO3 in H2SO4 ; (e)cold fuming
sulfuric acid; (f) CHC13 and A1C13 ; (g) sodium metal.
Whether an alcohol is primary, secondary, or tertiary is shown by the Lucas
test, which is based upon the difference in reactivity of the three classes toward
hydrogen halides (Sec. 16.4). Alcohols (of not more than six carbons) are soluble
in the Lucas reagent, a mixture of concentrated hydrochloric acid and zinc chloride.
(Why are they more soluble in this than in water?) The corresponding alkyl
chlorides are insoluble. Formation of a chloride from an alcohol is indicated by
the cloudiness that appears when the chloride separates from the solution ; hence, the
time required for cloudiness to appear is a measure of the reactivity of the alcohol.
A tertiary alcohol reacts immediately with the Lucas reagent, and a secondary
alcohol reacts within five minutes; a primary alcohol does not react appreciably at room temperature. As we have seen, benzyl alcohol and allyl alcohol react as
rapidly as tertiary alcohols with the Lucas reagent; allyl chloride, however, is
soluble in the reagent. (Why?)
Whether or not an alcohol contains one particular structural unit is shown
by the iodoform test. The alcohol is treated with iodine and sodium hydroxide
(sodium hypoiodite, NaOI); an alcohol of the structure
yields a yellow precipitate of iodoform (CHI3 , m.p. 119). For example:
The reaction involves oxidation, halogenation, and cleavage.
As would be expected from the equations, a compound of structure
also gives a positive test (Sec. 19.17).
In certain special cases this reaction is used riot as a test, but to synthesize
the carboxylic acid, RCOOH. Here, hypobromite or the cheaper hypochlorite
would probably be used.
Spectroscopic analysis of alcohols
Infrared. In the infrared spectrum of a hydrogen-bonded alcohol and this
is the kind that we commonly see the most conspicuous feature is a strong,
broad band in the 3200-3600 cm- 1
region due to O H stretching (see Fig. 16.1).
(A monomeric alcohol, as discussed in Sec. 15.4, gives a sharp, variable band at
3610-3640 cm-i.)
Another strong, broad band, due to C O stretching, appears in the 1000-
1200 cm" 1 region, the exact frequency depending on the nature of the alcohol:
(Compare the locations of this band in the spectra of Fig. 16.1.)
Phenols (ArOH) also show both these bands, but the C -O stretching appears at somewhat higher frequencies. Ethers show C O stretching, but the O H band is absent. Carboxylic acids and esters show C O stretching, but give absorption characteristic of the carbonyl group, C O, as well. (For a comparison of certain oxygen compounds, see Table 20.3, p. 689.) Nmr. Nmr absorption by a hydroxylic proton (O H) is shifted downtield by hydrogen bonding. The chemical shift that is observed depends, therefore, on the degree of hydrogen bonding, which in turn depends on temperature, concentration, and the nature of the solvent (Sec. 1 5.4). As a result, the signal can
appear anywhere in the range 8 1-5. It may be hidden among the peaks due to
alkyl protons, although its presence there is often revealed through proton counting.
A hydroxyl proton ordinarily gives rise to a singlet in the nmr spectrum:
its signal is not split by nearby protons, nor does it split their signals. Proton
exchange between two (identical) molecules of alcohol
R* -O-H* + R-O-H ^= R*- O-H + R-O-H*
is so fast that the proton now in one molecule and in the next instant in another
cannot see nearby protons in their various combinations of spin alignments, but
in a single average alignment.
Presumably through its inductive effect, the oxygen of an alcohol causes a
downfield shift for nearby protons: a shift of about the same size as other electronegative
atoms (Table 13.4, p. 421).
It has been found extremely useful to classify each caibon atom of an alkane with respect to the number of other carbon atoms to which it is attached.
SEC. 3.12 PHYSICAL PROPERTIES 85
A primary (7) carbon atom is attached to only one other carbon atom; a secondary
(2) is attached to two others; and a tertiary (3) to three others. For example:
Each hydrogen atom is similarly classified, being given the same designation of primary, secondary, or tertiary as the carbon atom to which it is attached. We shall make constant use of these designations in our consideration of the
relative reactivities of various parts of an alkane molecule.
Physical properties
The physical properties of the alkanes follow the pattern laid down bymethane, and are consistent with the alkane structure. An alkane molecule is held together entirely by covalent bonds. These bonds either join two atoms of the same kind and hence are non-polar, or join two atoms that differ very little in electronegativity and hence are only slightly polar. Furthermore, these bonds are directed in a very symmetrical way, so that the slight bond polarities tend to cancel out. As a result an alkane molecule is either non-polar or very weakly polar As we have seen ^Sec. 1.19), the forces holding non-polar molecules together (van der Waals forces) arc weak and of very short range; they act only between the portions of different molecules that are in close contact, that is, between the surfaces of molecules. Within a family, therefore, we would expect that the larger the molecule and hence the larger its surface area the stronger the intermolecular forces.
Table 3.3 lists certain physical constants for a number of the w-alkanes. As
we can see, the boiling points and melting points rise as the number of carbons increases. The processes of boiling and melting require overcoming the intermolecular forces of a liquid and a solid; the boiling points and melting points rise because these intermolecular forces increase as the molecules get larger. Except for the very small alkanes, the boiling point rises 20 to 30 degrees for each carbon that is added to the chain ; we shall find that this increment of 20-30 per carbon hofds not only for the alkanes but also for each of the homologous series that we shall study. The increase in melting point is not quite so regular, since the intermolecular forces in a crystal depend not only upon the size of the molecules but also upon how well they fit into a crystal lattice. The first four i-alkanes are gases, but, as a result of the rise in boiling point and melting point with increasing chain length, the next 13 (C$Cn) are liquids, and those- containing 18 carbons or more are solids.
There are somewhat smaller differences among the boiling points of alkanes that have the same carbon number but different structures. On pages 77 and 80 the boiling points of the isomeric butanes, pentanes, and hexanes are given. We see that in every case a branched-chain isomer has a lower boiling point than a straight-chain isomer, and further, that the more numerous the branches, the lower the boiling point. Thus w-butane has a boiling point of and isobutane 12.m w-Pentane has a boiling point of 36, isopentane with a single branch 28, and neopentane with two branches 9.5. This effect of branching on boiling point is observed within all families of organic compounds. That branching should lower the boiling point is reasonable: with branching the shape of the molecule tends to approach that of a sphere; and as this happens the surface area decreases, with the result that the intermolecular forces become weaker and are overcome at a lower temperature. In agreement with the rule of thumb, "like dissolves like," the alkanes are
soluble in non-polar solvents such as benzene, ether, and chloroform, and are insoluble in water and other highly polar solvents. Considered themselves as solvents, the liquid alkanes dissolve compounds of low polarity and do not dissolve compounds of high polarity.
The density increases with size of the alkanes, but tends to level off at about 0.8; thus all alkanes are less dense than water. It is not surprising that nearly all organic compounds are less dense than water since, like the alkanes, they consist chiefly of carbon and hydrogen. In general, to be denser than water a compound must contain a heavy atom like bromine or iodine, or several atoms like chlorine.
Industrial source
The principal source of alkanes is petroleum, together with the accompanying natural gas. Decay and millions of years of geologicaTstresses have transformed the complicated organic compounds that once made up living plants or animals into a mixture of alkanes ranging in size from one carbon to 30 or 40 carbons. Formed along with the alkanes, and particularly abundant in California petroleum, are cycloalkanes (Chap. 9), known to the petroleum industry as naphthenes. The other fossil fuel, coal, is a potential second source of alkanes: processes are being developed to convert coal, through hydrogenation, into gasoline and fuel oil, and into synthetic gas to offset anticipated shortages of natural gas. Natural gas contains, of course, only the more volatile alkanes, that is, those of low molecular weight; it consists chiefly of methane and progressively smaller amounts of ethane, propane, and higher alkanes. For example, a sample taken from a pipeline supplied by a large number of Pennsylvania wells contained methane, ethane, and propane in the ratio of 12:2: 1, with higher alkanes making up only 3% of the total. The propane-butane fraction is separated from the more volatile components by liquefaction, compressed into cylinders, and sold as bottled gas in areas not served by a gas utility. Petroleum is separated by distillation into the various fractions listed in Table 3.4; because of the relationship between boiling point and molecular weight, this amounts to a rough separation according to carbon number. Each fraction is still a very complicated mixture, however, since it contains alkanes of a range of carbon numbers, and since each carbon number is represented by numerous isomers. The use that each fraction is put to depends chiefly upon its volatility or viscosity, and it matters very little whether it is a complicated mixture or a single pure compound. (In gasoline, as we shall see in Sec. 3.30, the structures of the components are of key importance.) The chief use of all but the non-volatile fractions is as fuel. The gas fraction, like natural gas, is used chiefly for heating. Gasoline is used in those internal combustion engines that require a fairly volatile fuel, kerosene is used in tractor and jet engines, and gas oil is used in Diesel engines. Kerosene and gas oil are also used for heating purposes, the latter being the familiar "furnace oil."
The lubricating oil fraction, especially that from Pennsylvania crude oil (paraffin-base petroleum), often contains large amounts of long-chain alkanes (C20-C34) that have fairly high melting points. If these remained in the oil, they might crystallize to waxy solids in an oil line in cold weather. To prevent this, the oil is chilled and the wax is removed by filtration. After purification this is sold as solid paraffin wax (m.p. 50-55) or used in petrolatum jelly (Vaseline). Asphalt is used in roofing and road building. The coke that is obtained from paraflin-base crude oil consists of complex hydrocarbons having a high carbon-to-hydrogen ratio; it is used as a fuel or in the manufacture of carbon electrodes for the electrochemical industries. Petroleum ether and ligroin are useful solvents for many organic materials of low polarity. In addition to being used directly as just described, certain petroleum fractions are converted into other kinds of chemical compounds. Catalytic isomerization
changes straight-chain alkanes into branched-chain ones. The cracking process
(Sec. 3.31) converts higher alkanes into smaller alkanes and alkenes, and thus
increases the gasoline yield; it can even be used for the production of "natural"
gas. In addition, the alkenes thus formed are perhaps the most important raw
materials for the large-scale synthesis of aliphatic compounds. The process of
catalytic reforming (Sec. 12.4)converts alkanes and cycloalkanesinto aromatic hydrocarbons
and thus helps provide the raw material for the large-scale synthesis of
another broad class of compounds.
Industrial source vs. laboratory preparation
We shall generally divide the methods of obtaining a particular kind of
organic compound into two categories: industrial source and laboratory preparation.
We may contrast the two in the following way, although it must be realized that
there are many exceptions to these generalizations.
An industrial source must provide large amounts of the desired material at
the lowest possible cost. A laboratory preparation may be required to produce
only a few hundred grams or even a few grams; cost is usually of less importance
than the time of the investigator.
For many industrial purposes a mixture may be just as suitable as a pure
compound; even when a single compound is required, it may be economically
feasible to separate it from a mixture, particularly when the other components
may also be marketed. In the laboratory a chemist nearly always wants a single
pure compound. Separation of a single compound from a mixture of related
substances is very time-consuming and frequently does not yield material of the
required purity. Furthermore, the raw material for a particular preparation may
well be the hard-won product of a previous preparation or even series of preparations, and hence he wishes to convert it as completely as possible into his desired
compound. On an industrial scale, if a compound cannot be isolated from naturally
occurring material, it may be synthesized along with a number of related
compounds by some inexpensive reaction. In the laboratory, whenever possible,
a reaction is selected that forms a single compound in high yield.
In industry it is frequently worth while to work out a procedure and design
apparatus that may be used in the synthesis of only one member of a chemical
family. In the laboratory a chemist is seldom interested in preparing the same
compound over and over again, and hence he makes use of methods that are
applicable to many or all members of a particular family.
In our study of organic chemistry, we shall concentrate our attention on
versatile laboratory preparations rather than on limited industrial methods. In
learning these we may, for the sake of simplicity, use as examples the preparation
of compounds that may actually never be made by the method shown. We may
discuss the synthesis of ethane by the hydrogenation of ethylene, even though we
can buy all the ethane we need from the petroleum industry. However, if we know
how to convert ethylene into ethane, then, when the need arises, we also know how
to convert 2-methyl-l-hexene into 2-methylhexane, or cholesterol into cholestanol,
or, for that matter, cottonseed oil into oleomargarine.
The Grignard reagent: an organometallic compound
When a solution of an alkyl halide in dry ethyl ether, (C2H5)2O, is allowed to
stand over turnings of metallic magnesium, a vigorous reaction takes place: the
solution turns cloudy, begins to boil, and the magnesium metal gradually disappears.
The resulting solution is known as a Grignard reagent, after Victor Grignard
(of the University of Lyons) who received the Nobel prize in 1912 for its
discovery. It is one of the most useful and versatile reagents known to the organic
chemist.
The Grignard reagent has the general formula RMgX, and the general name
alkylmagnesium halide. The carbon-magnesium bond is covalent but highly polar,
with carbon pulling electrons from electropositive magnesium; the magnesiumhalogen
bond is essentially ionic.
R:Mg+:X:-
Since magnesium becomes bonded to the same carbon that previously held
halogen, the alkyl group remains intact during the preparation of the reagent.
Thus 7i-propyl chloride yields /i-propylmagnesium chloride, and isopropyl chloride
yields isopropylmagnesium chloride.
The Grignard reagent is the best-known member of a broad class of substances,
called organometallic compounds, in which carbon is bonded to a metal:
lithium, potassium, sodium, zinc, mercury, lead, thallium almost any metal
known. Each kind of organometallic compound has, of course, its own set of
properties, and 'its particular uses depend on these. But, whatever the metal, it is
less electronegative than carbon, and the carbon-metal bond like the one in the
Grignard reagent is highly polar. Although the organic group is not a fullfledged
carbanion an anion in which carbon carries negative charge it nevertheless
has considerable carbanion- character. As we shall see, organometallic
compounds owe their enormous usefulness chiefly to one common quality: they
can serve as a source from which carbon is readily transferred with its electrons.
The Grignard reagent is highly reactive. It reacts with numerous inorganic
compounds including water, carbon dioxide, and oxygen, and with most kinds of
organic compounds ; in many of these cases the reaction provides the best way to
make a particular class of organic compound.
The reaction with water to form an alkane is typical of the behavior of the
Grignard reagent and many of the more reactive organometallic compounds
toward acids. In view of the marked carbanion character of the alkyl group, we
may consider the Grignard reagent to be the magnesium salt, RMgX, of the
extremely weak acid, R H. The reaction
is simply the displacement of the weaker acid, R H, from its salt by the stronger
acid, HOH.
An alkane is such a weak acid that it is displaced from the Grignard reagent
by compounds that we might ordinarily consider to be very weak acids themselves,
or possibly not acids at all. Any compound containing hydrogen attached to
oxygen or nitrogen is tremendously more acidic than an alkane, and therefore can
decompose the Grignard reagent: for example, ammonia or methyl alcohol.
For the preparation of an alkane, one acid is as good as another, so we naturally
choose water as the most available and convenient.
Problem 3.9 (a) Which alkane would you expect to get by the action of water
on w-propylmagnesium chloride? (b) On isopropylmagnesium chloride? (c) Answer
(a) and (b) for the action of deuterium oxide ("heavy water," D2O).
Problem 3.10 On conversion into the Grignard reagent followed by treatment
with water, how many alkyl bromides would yield: (a) //-pentane; (b) 2-methylbutane;
(c) 2,3-dimethylbutane; (d) neopentane? Draw the structures in each case.
Non-rearrangement of free radicals. Isotopic tracers
Our interpretation of orientation (Sec. 3.21) was based on an assumption that
we have not yet justified: that the relative amounts of isomeric halides we find in
the product reflect the relative rates at which various free radicals were formed
from the alkane. From isobutane, for example, we obtain twice as much isobutyl
chloride as te/7-butyl chloride, and we assume from this that, by abstraction of
hydrogen, isobutyl radicals are formed twice as fast as /erf-butyl radicals.
Yet how do we know, in this case, that every isobutyl radical that is formed
ultimately yields a molecule of isobutyl chloride? Suppose some isobutyl radicals
were to change- by rearrangement of atoms into /react with chlorine to yield ter/-butyl chloride. This supposition is not so far-
fetched as we, in our present innocence, might think; the doubt Jt raises is a very real one. We shall shortly see that another kind of reactive intermediate particle, the carbonium ion, is \ery prone to rearrange, with less stable ions readil> changing into more stable ones (See. 5.22). H. C. Brown (of Purdue University) and Glen Russell (no\\ of loua State University) decided to test the possibility that free radicals, like carbonium ions, might rearrange, and chose the chlorination of isobutane as a good test case,
because of the large difference in stability between w/-butyl and isobutyl radicals.
If rearrangement of alkyl radicals can indeed lake place, it should certainly happen
here.
What the problem comes down to is this: does every abstraction of primary
hydrogen lead to isobuiyl chloride, and every abstraction of tertiary hydrogen lead
to tert-butyl chloride? This, we might say, we could never know, because all
hydrogen atoms are exactly alike. But are they? Actually, three isotopes of hydrogen
exist: 'H, profhtm, ordinary hydrogen: 2H or D, deuterium* heavy hydrogen;
and 3 H or T, tritium. Protium and deuterium are distributed in nature in
the ratio of 5000: 1. '(Tritium, the unstable, radioactive isotope, is present in
traces, but can be made by neutron bombardment of 6 Li.) Modern methods of
separation of isotopes have made very pure deuterium available, at moderate
prices, in the form of deuterium oxide. D2O, heavy water.
Brown and Russell prepared the deuterium-labeled isobutane I,
photochemically chlorinated it, and analyzed the products. The DClrHCl ratio
(determined by the mass spectrometer) was found to be equal (within experimental
error) to the tert-buiyl chloride: isobutyl chloride ratio. Clearly, every abstraction
of a tertiary hydrogen (deuterium) gave a molecule of tert~buty\ chloride, and every
abstraction of a primary hydrogen (protiwn) gave a molecule of isobutyl chloride.
Rearrangement of the intermediate free radicals did not occur.
All the existing evidence indicates quite strongly that, although rearrangement
of free radicals occasionally happens, it is not very common and does not involve
simple alkyl radicals.
Problem 3.18 (a) What results would have been obtained if some isobutyl
radicals had rearranged to tert-buiyl radicals? (b) Suppose that, instead of rearranging,
isobutyl radicals were, in effect, converted into terr-butyl radicals by the reaction
What results would Brown and Russell have obtained?
Problem 3.19 Keeping in mind the availability of D2O, suggest a way to make I
from ter/~butyl chloride. (Hint: See Sec, 3.16.)
The work of Brown and Russell is just one example of the way in which we can
gain insight into a chemical reaction by using isotopically labeled compounds. We
shall encounter many other examples in which isotopes, used either as tracers, as
in this case, or for the detection of isotope effects (Sec. 11.15), give us information
about reaction mechanisms that we could not get in any other way.
Besides deuterium and tritium, isotopes commonly used in organic chemistry
include: 14C, available a
8O; 15N, as 15NH3 ,
15N(V, and 15NO2
~
;
36
C1, as chlorine or chloride; 131
I, as iodide.
Problem 3.20 Bromination of methane is slowed down by the addition of
HBr (Problem 14, p. 71); this is attributed to the reaction
CH3
- + HBr > CH4 + Brwhich,
as the reverse of one of the chain-carrying steps, slows down bromination.
How might you test whether or not this reaction actually occurs in the bromination
mixture?
Analysis of alkanes
An unknown compound is characterized as an alkane on the basis of negative
evidence.
Upon qualitative elemental analysis, an alkane gives negative tests for all
elements except carbon and hydrogen. A quantitative combustion, if one is carried
out, shows the absence of oxygen; taken with a molecular weight determination,
the combustion gives the molecular formula, -CnH2n + 2 which is that of an alkane.
An alkane is insoluble not only in water but also in dilute acid and base and in
concentrated sulfuric acid. (As we shall see, most kinds of organic compounds
dissolve in one or more of these solvents.)
An alkane is unreactive toward most chemical reagents. Its infrared spectrum
lacks the absorption bands characteristic of groups of atoms present in other families
of organic compounds (like OH, C~O, ,C C, etc.).
Once the unknown has been characterized as an alkane, there remains the
second half of the problem: finding out which alkane.
On the basis of its physical properties boiling point, melting point, density,
refractive index, and, most reliable of all, its infrared and mass spectra it may be
identified as a previously studied alkane of known structure.
If it turns out to be a new alkane, the proof of structure can be a difficult
job. Combustion and molecular weight determination give its molecular formula.
Clues about the arrangement of atoms are given by its infrared and nmr spectra.
(For compounds like alkanes, it may be necessary to lean heavily on x-ray diffraction
and mass spectrometry.)
Final proof lies in synthesis of the unknown by a method that can lead only
to the particular structure assigned.
(The spectroscopic analysis of alkanes will be discussed in Sees. 13.15-13.16.)
Alkena
The functional group
The characteristic feature of the alkene structure is the carbon-carbon double
bond. The characteristic reactions of an alkene are those that take place at the
double bond. The atom or group of atoms that defines the structure of a particular
family of organic compounds and, at the same time, determines their properties is
called the functional group.
In alkyl halides the functional group is the halogen atom, and in alcohols the
OH group; in alkcnes it is the carbon- carbon double bond. We must not forget
that an alkyl halide, alcohol, or alkene has alkyl groups attached to these functional
groups; under the proper conditions, the alkyl portions of these molecules undergo
the reactions typical of alkanes. However, the reactions that are characteristic of
each of these compounds are those that occur at the halogen atom or the hydroxyl
group or the carbon-carbon double bond.
A large part of organic chemistry is therefore the chemistry of the various
functional groups. We shall learn to associate a particular set of properties with a
particular group wherever we may find it. When we encounter a complicated
molecule, which contains a number of different functional groups, we may expect
the properties of this molecule to be roughly a composite of the properties of the
various functional groups. The properties of a particular group may be modified,
of course, by the presence of another group and it is important for us to understand
these modifications, but our point of departure is the chemistry of individual
functional groups.
Analysis of alkencs
The functional group of an alkene is the carbon-carbon double bond. To
characterize an unknown compound as an alkene, therefore, we must show that
it undergoes the reactions typical of the carbon-carbon double bond. Since there
are so many of these reactions, we might at first assume that this is an easy job.
But let us look at the problem more closely.
First of all, which of the many reactions of alkenes do we select? Addition
of hydrogen bromide, for example 9 Hydrogenation ? Let us imagine ourselves
in the laboratory, working with gases and liquids and solids, with flasks and test
tubes and bottles.
We could pass dry hydrogen bromide from a tank through a test tube of an
unknown liquid. But what would we see? How could we tell whether or not a
reaction takes place? A colorless gas bubbles through a colorless liquid; a difierent
colorless liquid may or may not be formed.
We could attempt to hydrogenate the unknown compound. Here, we might
say, we could certainly tell whether or not reaction takes place: a drop in the
hydrogen pressure would show us that addition had occurred. This is true, and
hydrogenalion can be a useful analytical tool. But a catalyst must be prepared,
and a fairly elaborate piece of apparatus must be used ; the whole operation might
take hours.
Whenever possible, we select for a characteritation test a reaction that is
rapidly and conveniently carried out, and that gives rise to an easily observed change.
We select a test that requires a few minutes and a few test tubes, a test in which
a color appears or disappears, or bubbles of gas are evolved, or a precipitate forms
or dissolves.
Experience has shown that an alkene is best characterized, then, by its property
of decolorizing both a solution of bromine in carbon tetrachloride (Sec. 6.5) and
a cold, dilute, neutral permanganate solution (the Baeyer test. Sec. 6.20). Both
tests are easily carried out; in one, a red color disappears, and in the other, a purple
color disappears and is replaced by brown manganese dioxide.
Granting that we have selected the best tests for the characterization of alkenes,
let us go on to another question. We add bromine in carbon tetrachloride to an
unknown organic compound, let us say, and the red color disappears. What
does this tell us? Only that our unknown is a compound that reacts with bromine.
It may be an alkene. But it is not enough merely to know that a particular kind
ofcompound reacts with a given reagent; we must also know what other kinds of
compounds also react with the reagent. In this case, the unknown may equally
well be an alkyne. (It may also be any of a number of compounds that undergo
rapid substitution by bromine; in that case, however, hydrogen bromide would be
evolved and could be detected by the cloud it forms when we blow our breath over
the test tube.)
In the same way, decolorization of permanganate does not prove that a compound
is an alkene, but only that it contains some functional group that can be
oxidized by permanganate. The Compound may be an atttene; but it may instead
be a& atkyne, an aldehyde, or any of a number of easily oxidized compounds.
It may even be a compound that is contaminated with an Impurity that fa oxidised;
alcohols, for example, are not oxidized under tlrtse conditions, but often contain
impurities that ore. We can usually rule out this by making sure that more than a
drop or two of the reagent is decolorized*
By itself, a single characterization test seldom proves that an unknown is
one particular kind of compound. It may limit tte number of possibilities, so
that a final decision can then be made on tbe ba*m of ad4itloaal tests. Of, conversely,
if certain possibilities have already been eHmto*trf, a tingle tort may ponnk
a final choice to be made. Thus, the bromine or pwmaganate test would to
sufficient to differentiate an alkene from an alkane, ot an aJfcene from an alky!
halide, or an alkene from an alcohol.
The tests most used in characterizing alkenes, then, are the following: (a) rapid
decolorization of bromine in carbon tetrachloride without evolution of HBr,
a test also given by alkynes; (b) decolorization of cold, dilute, neutral, aqueous
permanganate solution (the Baeyer test), a test also given by alkynes and aldehydes.
Also helpful is the solubility of alkenes in cold concentrated sulfuric acid, a test
also given by a great many other compounds, including all those containing oxygen
(they form soluble oxonium salts) and compounds that are readily sulfonated
(Sees. 12.11 and 17.8). Alkanes or alkyl halides are not soluble in cold concentrated
sulfuric acid.
Of the compounds we have dealt with so far, alcohols also dissolve in sulfuric
acid. Alcohols can be distinguished from alkenes, however, by the fact that
alcohols give a negative test with bromine in carbon tetrachloride and a negative
Baeyer test so long as we are not misled by impurities. Primary and secondary
alcohols ore oxidized by chromic anhydride, CrO3 , in aqueous sulfuric acid:
within two seconds, the clear orange solution turns blue-green and becomes
opaque.
Tertiary alcohols do not give this test; nor do alkenes.
Problem 6.19 Describe simple chemical tests (if any) that would distinguish j
between: (a) an alkene and an alkane; (b) an alkene and an alkyl halide; (c) an alkenc
"
and a secondary alcohol; (d) an alkene, an alkane, an alkyl halide, and a secondary
alcohol. Tell exactly what you would do and see.
Problem 6.20 Assuming the choice to be limited to alkane, alkene, alkyl halide,
secondary alcohol, and tertiary alcohol, characterize compounds A, B, C, D, and E
on the basis of the following information:
Once characterized as an alkene, an unknown may then be identified as a
previously reported alkene on the basts of its physical properties, including its
infrared spectrum and molecular weight. Proof of structure of a new compound
is best accomplished by degradation: cleavage by ozone or permanganate, followed
by identification of the fragments formed (Sec. 6.29).
(Spectroscopic analysis of alkenes will be discussed in Sees. 13.15-13.16.)
Structure and nomenclature of ethers
Ethers are compounds of the general formula R -O R, Ar O R, or
Ar-O Ar.
To name ethers we usually name the two groups that are attached to oxygen,
and follow these names by the word ether:
Physical properties of ethers
Since the C O C bond angle is not 180, the dipole moments of the two
C O bonds do not cancel each other; consequently, ethers possess a small net
dipole moment (e.g., 1.18 D for ethyl ether).
This weak polarity does not appreciably affect the boiling points of ethers,
which are about the same as those of alkanes having comparable molecular weights,
and much lower than those of isomeric alcohols. Compare, for example, the
boiling points of /i-heptane (98), methyl /i-pentyl ether (100), and w-hexyl alcohol
(157). The hydrogen bonding that holds alcohol molecules strongly together is
not possible for ethers, since they contain hydrogen bonded only to carbon (Sec.
15.4):
On the other hand, ethers show a solubility in water comparable to that of
the alcohols, both ethyl ether and w-butyl alcohol, for example, being soluble to the
extent of about 8 g per 100 g of water. We attributed the water solubility of the
lower alcohols to hydrogen bonding between water molecules and alcohol molecules;
presumably the water solubility of ether arises in the same way.
Cyclic ethers
In their preparation and properties, most cyclic ethers are just like the ethers
we have already studied: the chemistry of the ether linkage is essentially the same
whether it forms part of an open chain or part of an aliphatic ring.
Problem 17.14 1,4-Dioxane is prepared industrially (for use as a water-soluble
solvent) by dehydration of an alcohol. What alcohol is used?
Problem 17.15 The unsaturated cyclic ether fnran can readily be made from sub-
Stances isolated from oat hulls and corncobs; one of its important uses involves its
conversion into (a) tetrahydrofnnin, and (b) 1,4-dichlorobutane. Using your knowledge
of alkene chemistry and ether chemistry, show hens these conversions can be carried
out.
Analysis of ethers
Because of the low reactivity of the functional group, the chemical behavior
of ethers both aliphatic and aromatic resembles that of the hydrocarbons to
which they are related. They are distinguished from hydrocarbons, however,
by their solubility in cold concentrated sulfuric acid through formation of oxonium
salts.
Problem 17.23 Because of their highly reactive benzene rings, aryf ethers may
decolorize bromine in carbon tetrachloride. How coutd this behavior be distinguished
from the usual unsaturation test? (Hint: Sec Sec. 6.30.)
Problem 17.24 Expand the table you made in Problem 16.10, p. 536, to include
ethers.
Problem 17.25 Describe simple chemical tests (if any) that would distinguish
between an aliphatic ether and (a) an aikane; (b) an alkene; (c) an alkyne; (d) an
alkyl halide; (e) a primary or secondary alcohol; (f) a tertiary alcohol; (g) an alkyl
aryl ether
Identification as a previously reported ether is accomplished through the usual
comparison of physical properties. This can be confirmed by cleavage with hot
concentrated hydriodic acid (Sec, 17.7) and identification of one or both products.
Aromatic ethers can be converted into solid bromination or nitration products
whose melting points can then be compared with those of previously reported
derivatives.
Proof of structure of a new ether would involve cleavage by hydriodic acid
and identification of the products formed. Cleavage is used quantitatively in the
Zeisel method to show the number of alkoxyl groups in an alkyl aryl ether.
Problem 17.26 How many methoxyl groups per molecule of papaverine would
be indicated by the following results of a Zeisel analysis ?
Treatment of papaverine (C2oH2|O4N, one of the opium alkaloids) with hot
concentrated hydriodic acid yields CHJ, indicating the presence of the methoxyl
group OCHj. When 4.24 mg of papaverine is treated with hydriodic acid and the
CH3 I thus formed is passed into alcoholic silver nitrate, 11.62 mg of silver iodide is
obtained.
17.17 Spectroscopic analysis of ethers
Infrared. The infrared spectrum of an ether does not, of course, show the
O H band characteristic of alcohols; but the strong band due to C O stretching
PROBLEMS 571
is still present, in the 1060-1300 cm" 1
range, and is the striking feature of the
spectrum. (See Fig. 17.1).
CO stretching, strong, broad
Alkyl ethers 1060-1 150 cm" 1
Aryl and vinyl ethers 1200-1275 cm" 1
(and, weaker, at 1020-1075 cm' 1
)
Carboxylic acids and esters show C O stretching, but show carbonyl absorption
as well. (For a comparison of certain oxygen compounds, see Table 20.3, p. 689.)
Alkohol
Structure
Alcohols are compounds of the general formula ROH, where R is any alkyl
or substituted alkyl group. The group may be primary, secondary, or tertiary;
it may be open-chain or cyclic; it may contain a double bond, a halogen atom,
or an aromatic ring. For example:
All alcohols- contain the hydroxyl (- OH) group, which, as the functional
group, determines the properties characteristic of this family. Variations in
structure of the R group may affect the rate at which the alcohol undergoes certain
reactions, and even, in a few cases, may affect the kind of reaction.
Compounds in which the hydroxyl group is attached directly to an aromatic
ring are not alcohols; they are phenols, and differ so markedly from the alcohols
that we shall consider them in a separate chapter.
Classification
We classify a carbon atom as primary, secondary, or tertiary according to the
number of other carbon atoms attached to it (Sec. 3.1 1). An alcohol is classified
according to the kind of carbon that bears the OH group:
One reaction, oxidation, which directly involves the hydrogen atoms attached
to the carbon bearing the OH group, takes an entirely different course for each
class of alcohol. Usually, however, alcohols of different classes differ only in
rate or mechanism of reaction, and in a way consistent with their structures. Certain
substituents may affect reactivity in such a way as to make an alcohol of one class
resemble the members of a different class; benzyl alcohol, for example, though
formally a primary alcohol, often acts like a tertiary alcohol. We shall find that
these variations, too, are consistent with the structures involved.
Physical properties
The compounds we have studied so far, the various hydrocarbons, are nonpolar or nearly so, and have the physical properties that we might expect of suchcompounds: the relatively low melting points and boiling points that are characteristic
of molecules with weak intermolecular forces; solubility in
non-polar
solvents and insolubility in polar solvents like water.
Alcohols, in contrast, contain the very polar OH group. In particular, this
group contains hydrogen attached to the very electronegative element, oxygen,
and therefore permits hydrogen bonding (Sec. 1.19). The physical properties (Table
15.1) show the effects of this hydrogen bonding.
Let us look first at boiling points. Among hydrocarbons the factors that
determine boiling point seem to be chiefly molecular weight and shape; this is
to be expected of molecules that are held together chiefly by van der Waals forces.
Alcohols, too, show increase in boiling point with increasing carbon number, and
decrease in boiling point with branching. But the unusual thing about alcohols is
that they boil so high: as Table 15.2 shows, much higher than hydrocarbons of
the same molecular weight, and higher, even, than many other compounds of
considerable polarity. How are we to account for this?
The answer is, of course, that alcohols, like water, are associated liquids:
their abnormally high boiling points are due to the greater energy needed to break
the hydrogen bonds that hold the molecules together. Although ethers and aldehydes
contain oxygen, they contain hydrogen that is bonded only to carbon; these
hydrogens are not positive enough to bond appreciably with oxygen.
Infrared spectroscopy (Sec. 13.4) has played a key role in the study of hydrogen
bonding. In dilute solution in a non-polar solvent like carbon tetrachloriue
(or in the gas phase), where association between molecules is minimal, elhanol,
for example, shows an O H stretching band at 3640 cm" 1
. As the concentration
of ethanol is increased, this band is gradually replaced by a broader band at
3350 cm" 1
. The bonding of hydrogen to the second oxygen weakens the O H
bond, and lowers the energy and hence the frequency of vibration.
The solubility behavior of alcohols also reflects their ability to form hydrogen
bonds. In sharp contrast to hydrocarbons, the lower alcohols are miscible with
water. Since alcohol molecules are held together by the same sort of intermodular
forces as water molecules, there can be mixing of the two kinds of molecules: the
energy required to break a hydrogen bond between two water molecules or two
alcohol molecules is provided by formation of a hydrogen bond between a water
molecule and an alcohol molecule.
This is true, however, only for the lower alcohols, where the OH group
constitutes a large portion of the molecule. A long aliphatic chain with a small
OH group at one end is mostly alkane, and its physical properties show this.
The change in solubility with carbon number is a gradual one: the first three
primary alcohols are miscible with water; -butyl alcohol is soluble to the extent
of 8 g per 100 g water; w-pentyl, 2 g; w-hexyl, 1 g; and the higher alcohols still less.
For practical purposes we consider that the borderline between solubility and
insolubility in water occurs at about four to five carbon atoms for normal primary
alcohols.
Polyhydroxy alcohols provide more than one site per molecule for hydrogen
bonding, and their properties reflect this. The simplest glycol, ethylene glycol,
boils at 197. The lower glycols are miscible with water, and those containing as
many as seven carbon atoms show appreciable solubility in water. (Ethylene glycol
owes its use as an antifreeze e.g. Prestone to its high boiling point, low freezing
point, and high solubility in water.)
Chemistry of the OH group
The chemical properties of an alcohol, ROH, are determined by its functional
group, OH, the hydroxyl group. When we have learned the chemistry of the
alcohols, we shall have learned much of the chemistry of the hydroxyl group in
whatever compound it may occur; we shall know, in part at least, what to expect
of hydroxyhalides, hydroxyacids, hydroxyaldehydes, etc.
Reactions of an alcohol can involve the breaking of either of two bonds:
the C OH bond, with removal of the OH group; or the O H bond, with
removal of H. Either kind of reaction can involve substitution, in which a
group replaces the OH or -H, or elimination, in which a double bond is
formed.
Differences in the structure of R cause differences in reactivity, and in a few
cases even profoundly alter the course of the reaction. We shall see what some of
these effects of structure on reactivity are, and how they can be accounted for.
REACTIONS OF ALCOHOLS C-OH BOND CLEAVAGE
Reactivity of ROH: 3 > 2 > 1
Oxidation.
The compound that is formed by oxidation of an alcohol depends upon the
number of hydrogens attached to the carbon bearing the OH group, that is,
upon whether the alcohol is primary, secondary, or tertiary. We have already
encountered these products aldehydes, ketones, and carboxylic acids and should
recognize them from their structures, even though we have not yet discussed much
of their chemistry. They are important compounds, and their preparation by the
oxidation of alcohols is of great value in organic synthesis (Sees. 16.9 and 16.10).
The number of oxidizing agents available to the organic chemist is growing
at a tremendous rate. As with all synthetic methods, emphasis is on the development
of highly selective reagents, which will operate on only one functional group
in a complex molecule, and leave the other functional groups untouched. Of the
many reagents that can be used to oxidize alcohols, we can consider only the most
common ones, those containing Mn(VII) and Cr(VI).
Primary alcohols can be oxidized to carboxylic acids, RCOOH, usually by
heating with aqueous KMnO4 . When reaction is complete, the aqueous solution
of the soluble potassium salt of the carboxylic acid is filtered from MnO2 , and the
acid is liberated by the addition of a stronger mineral acid.
Primary alcohols can be oxidized to aldehydes, RCHO, by the use of K2Cr2O7 .
Since, as we shall see (Sec. 19.9), aldehydes are themselves readily oxidized to
acids, the aldehyde must be removed from the reaction mixture by special techniques
before it is oxidized further.
Secondary alcohols are oxidized to ketones, R2CO, by chromic acid in a form
selected for the job at hand: aqueous K2Cr2O7 , CrO3 in glacial acetic acid, CrO3
in pyridine, etc. Hot permanganate also oxidizes secondary alcohols; it is seldom
used for the synthesis of ketones, however, since oxidation tends to go past the
ketone stage, with breaking of carbon-carbon bonds.
With no hydrogen attached to the carbinol carbon, tertiary alcohols are not
oxidized at all under alkaline conditions. If acid is present, they are rapidly dehydrated
to alkenes, which are then oxidized.
Let us look briefly at the mechanism of just one oxidation reaction, to see
the kind of thing that is involved here. Oxidation of secondary alcohols by Cr(VI) is
believed to involve (1) formation of a chromate ester, which (2) loses a proton and an
HCrO3
~
i n to form the ketone. It is possible that the proton is lost to an oxygen
of the ester group in a cyclic mechanism (2a). Additional alcohol is then oxidized,
evidently by reactions (3)-(5), with chromium finally reaching the Cr(III) state.
The difficult step in ail this is breaking the carbon-hydrogen bond; this is
made possible by the synchronous departure of HCrO3 ~, in what is really an E2
elimination but here with the formation of a carbon-oxygen double bond.
In connection with analysis, we shall encounter two reagents used to oxidize
alcohols of special kinds: (a) hypohalite (Sec. 16.11), and (b) periodic acid (Sec.
Analysis of alcohols. Characterization. lodoform test
Alcohols dissolve in cold concentrated sulfuric acid. This property they share
with alkenes, amines, practically all compounds containing oxygen, and easily
sulfonated compounds. (Alcohols, like other oxygen-containing compounds,
form oxonium salts, which dissolve in the highly polar sulfuric acid.)
Alcohols are not oxidized by cold, dilute, neutral permanganate (although
primary and secondary alcohols are, of course; oxidized by permanganate under
more vigorous conditions). However, as we have seen (Sec. 6.30), alcohols often
contain impurities that are oxidized under these conditions, and so the permanganate
test must be interpreted with caution.
Alcohols do not decolorize bromine in carbon tetrachloride. This property
serves to distinguish them from alkenes and alkynes.
Alcohols are further distinguished from alkenes and alkynes and, indeed,
from nearly every other kind of compound by their oxidation by chromic anhydride,
CrO3 , in aqueous sulfuric acid: within two seconds, the clear orange
solution turns blue-green and becomes opaque.
Tertiary alcohols do not give this test. Aldehydes do, but are easily differentiated
in other ways (Sec. 19.17).
Reaction of alcohols with sodium metal, with the evolution of hydrogen
gas, is of some use in characterization; a wet compound of any kind, of course,
will do the same thing, until the water is used up.
The presence of the OH group in a molecule is often indicated by the formation
of an ester upon treatment with an acid chloride or anhydride (Sec. 18.16).
Some esters are sweet-smelling; others are solids with sharp melting points, and
can be derivatives in identifications. (If the molecular formulas of starting material
and product are determined, it is possible to calculate how many OH groups are
present.)
Make a table to show the response of each kind of compound
we have studied so far toward the following reagents: (a) cold concentrated H2SO4 ;
(b) cold, dilute, neutral KMnO4 ; (c) Br, in CC14 ; (d) CrO3 in H2SO4 ; (e)cold fuming
sulfuric acid; (f) CHC13 and A1C13 ; (g) sodium metal.
Whether an alcohol is primary, secondary, or tertiary is shown by the Lucas
test, which is based upon the difference in reactivity of the three classes toward
hydrogen halides (Sec. 16.4). Alcohols (of not more than six carbons) are soluble
in the Lucas reagent, a mixture of concentrated hydrochloric acid and zinc chloride.
(Why are they more soluble in this than in water?) The corresponding alkyl
chlorides are insoluble. Formation of a chloride from an alcohol is indicated by
the cloudiness that appears when the chloride separates from the solution ; hence, the
time required for cloudiness to appear is a measure of the reactivity of the alcohol.
A tertiary alcohol reacts immediately with the Lucas reagent, and a secondary
alcohol reacts within five minutes; a primary alcohol does not react appreciably at room temperature. As we have seen, benzyl alcohol and allyl alcohol react as
rapidly as tertiary alcohols with the Lucas reagent; allyl chloride, however, is
soluble in the reagent. (Why?)
Whether or not an alcohol contains one particular structural unit is shown
by the iodoform test. The alcohol is treated with iodine and sodium hydroxide
(sodium hypoiodite, NaOI); an alcohol of the structure
yields a yellow precipitate of iodoform (CHI3 , m.p. 119). For example:
The reaction involves oxidation, halogenation, and cleavage.
As would be expected from the equations, a compound of structure
also gives a positive test (Sec. 19.17).
In certain special cases this reaction is used riot as a test, but to synthesize
the carboxylic acid, RCOOH. Here, hypobromite or the cheaper hypochlorite
would probably be used.
Spectroscopic analysis of alcohols
Infrared. In the infrared spectrum of a hydrogen-bonded alcohol and this
is the kind that we commonly see the most conspicuous feature is a strong,
broad band in the 3200-3600 cm- 1
region due to O H stretching (see Fig. 16.1).
(A monomeric alcohol, as discussed in Sec. 15.4, gives a sharp, variable band at
3610-3640 cm-i.)
Another strong, broad band, due to C O stretching, appears in the 1000-
1200 cm" 1 region, the exact frequency depending on the nature of the alcohol:
(Compare the locations of this band in the spectra of Fig. 16.1.)
Phenols (ArOH) also show both these bands, but the C -O stretching appears at somewhat higher frequencies. Ethers show C O stretching, but the O H band is absent. Carboxylic acids and esters show C O stretching, but give absorption characteristic of the carbonyl group, C O, as well. (For a comparison of certain oxygen compounds, see Table 20.3, p. 689.) Nmr. Nmr absorption by a hydroxylic proton (O H) is shifted downtield by hydrogen bonding. The chemical shift that is observed depends, therefore, on the degree of hydrogen bonding, which in turn depends on temperature, concentration, and the nature of the solvent (Sec. 1 5.4). As a result, the signal can
appear anywhere in the range 8 1-5. It may be hidden among the peaks due to
alkyl protons, although its presence there is often revealed through proton counting.
A hydroxyl proton ordinarily gives rise to a singlet in the nmr spectrum:
its signal is not split by nearby protons, nor does it split their signals. Proton
exchange between two (identical) molecules of alcohol
R* -O-H* + R-O-H ^= R*- O-H + R-O-H*
is so fast that the proton now in one molecule and in the next instant in another
cannot see nearby protons in their various combinations of spin alignments, but
in a single average alignment.
Presumably through its inductive effect, the oxygen of an alcohol causes a
downfield shift for nearby protons: a shift of about the same size as other electronegative
atoms (Table 13.4, p. 421).
devirat senyawa organik
A. LATAR BELAKANG
Suatu pengetahuan mengenai kimia organik tidak dapat diabaikan begitu saja, karena sistem kehidupan terutama terdiri dari air dan senyawa organik, hampir setiap studi yang berhubungan dengan tumbuhan, hewan, atau mikroorganisme tergantung pada prinsip kimia organik. Bidang-bidang studi ini mencakup obat-obatan ilmu kedokteran, biokimia, mikrobiologi dan banyak ilmu pengetahuan yang lainnya.
Senyawa organik mempunyai struktur yang beragam dengan sifat fisika dan kimia yang berbeda beda. Sehingga dari sifat-sifat khasnya kita dapat melakukan analsis terhadap senyawa-senyawa tersebut apabila. Analisis yang dilakukan meliputi analisis secara kulitatif dan secara kuantatif.
Studi mangenai senyawa alifatik khususnya alkana, alkena, alkohol dan eter perlu dipalajari dan dipahami, karena apabila senyawa tersebut berada secara bersamaan sulit untuk diidentifikasi secara langsung, tetapi identifikasi yang dilakukan harus secara bertahap dan berkesinambungan dari yang bersifat umum sampai spesifik.
Makalah ini akan membahas mengenai analisis alkana, alkena, alkohol dan eter, beserta reaksi reaksi yang terjadi, sehingga kita dapat melakukan proses identifikasi dan analisis dengan pengujia yang tepat.
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1. Sumber buku kimia organik Fesenden&Fesenden, mengenai:
a. Pengertian senyawa alkana, alkena, alkohol, dan eter
b. Sifat-sifat kimia dan sifat fisika dari alkana, alkena, alkohol, dan eter
c. Reaksi ozonolisis pada alkena
2. Organic Chemistry Morrison, mengenai:
a. Sifat-sifat fisika dan kimia alkana, alkena, alkohol, eter.
b. Analisis senyawa alkana, meliputi:
• Reaksi pembakaran pada alkana
• Reaksi alkana dengan larutan H2SO4 pekat yang dingin
• Analisia alkana dengan spektrum infra red
• Analisis fisika terhadap alkana
c. Analisis senyawa alkena, meliputi:
• Reaksi Alkena dengan Br2 dalam CCl4
• Identifikasi alkena dengan reaksi adisi oleh HBr
• Reaksi alkena dengan larutan H2SO4 pekat yang dingin
• Reaksi ozonolisis (pemaksa pisahan dengan ozon)
d. Analisis senyawa alkohol, meliputi:
• Identifikasi alkohol primer, sekunder, tersier dengan oksidator KMnO4 dan K2Cr2O7
• Reaksi alkohol dengan larutan H2SO4 pekat yang dingin
• Uji Lucas untuk identifikasi alkohol primer, sekunder dan tesier
• Uji Iodoform terhadap alkohol
e. Analisis senyawa eter, meliputi:
• Reaksi eter dengan larutan H2SO4 pekat
• Analisis kuantitatif eter dengan metode zeisel
• Reaksi pemaksapisahan eter dengan HCl
• Analisis senyawa eter dengan spektrum infra red
BAB III
PEMBAHASAN
ALKANA
1. Alkana
Alkana merupakan kelompok hidrokarbon yang paling sederhana, yaitu senyawa-senyawa yang hanya mengandung karbon dan hidrogen dengan rumus umum CnH2n+n. Alkana hanya mengandung ikatan C-H dan ikatan tunggal C-C.
2. Sifat-sifat Alkana
a. Sifat Fisika
• Alkana adalah senyawa yang bersifat nonpolar, sehingga gaya tarik antar molekul lemah.
• Alkana tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut-pelarut nonpolar seperti benzene, eter.
• Alkana mempunyai titik didih dan titik cair paling rendah dibandingkan dengan senyawa organik lain dengan berat molekul yang sama, karena gaya tarik antar molekul-molekul nonpolar lemah. Sehingga proses pemisahan molekul satu dengan yang lainnya ( proses dari fase cair ke gas) relative memerlukan sedikit energi. Titik didih dan titk cair alkana naik dengan bertambahnya urutan molekul.
b. Sifat Kimia
Alkana maupun sikloalkana tidak reaktif dibandingkan dengan senyawa organikyang memiliki gugus fungsional. Umumnya alkana tidak bereaksi dengan asam kuat, basa, zat pengoksidasi dan zat pereduksi. Karena sifat kurang reaktif ini , maka kadang-kadang alkana disebut sebagai paraffin (Latin: parum affin, “afinitas kecil sekali).
3. Analisis Alkana
a. Alkana merupakan hidrocarbon jenuh oleh karena itu bersifat tidak reaktif bila direaksikan dengan unsur unsur logam kecuali karbon dan hidrogen
b. Untuk menentukan rumus molekul alkana dapat dilakukan dengan reaksi pembakaran (combustion). Dari hasil pembakaran akan diperoleh rumus umum dari alkana CnH2n+n, dari rumus umum ini melalui perhitungan secara stokiometri dapat ditentukan rumus molekul dari senyawa yang dianalisis.
Reaksi pembakaran:
c. Alkana bersifat nonpolar tidak larut dalam air, asam, dan H2SO4. Sifat fisik ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa alkana, jadi bila kita melarutkan suatu senyawa organik yang belum diketahui jenisnya ke dalam air, asam, basa, atau H2SO4 dan senyawa tersebut tidak larut maka dapat dicurigai senyawa tersebut adalah alkana, tetapi uji ini tidak bersifat spesifik terhadap alkana karena ada senyawa organik lain yang bersifat nonpolar selain alkana.
d. Alkana tidak mempunyai gugus fungsi yang bersifat spesifik seperti OH, C-O,dan lain-lain oleh karena itu jika dilakukan analisis terhadap suatu senyawa campuran dengan spektrum infrared maka alkana dapat diidentifikasi setelah senyawa lainnya yang mempunyai gugus fungsi spesifik teridentifikasi terlebih dahulu.
e. Analisis Fisika terhadap alkana meliputi titik didih, titik leleh, bobot jenis, refraksi index, dapat dilakukan dengan membandingkan hasil analisis dengan standar yang telah ada.
f. Struktur dari atom atom yang menyusun molekul senyawa alkana dapat ditentukan menggunakan IR dan NMR Spectra, dengan terlebih dahulu menentukan/menemukan rumus molekul melalui reaksi pembakaran ( combustion).
ALKENA
1. Alkena
Alkena merupakan senyawa hidrokarbon tidak jenuh yang mempunyai ikatan rangkap dua. Rumus umum Alkana CnH2n. Contoh alkena sederhana etilena C2H4, dengan struktur sebagai berikut:
2. Sifat-sifat Alkena
a) Sifat Fisika
• Tidak larut dalam air, sangat larut dalam pelarut nonpolar seperti benzene, eter, dan chloroform.
• Mempunyai bobot jenis yang lebih ringan dari pada air
• Titik didih naik dengan bertambahnya atom C, Seperti pada alkana titik didih naik 20-30oC untuk setiap penambahan C, kecuali untuk homolog yang sangat kecil. Adanya percabangan dapat menurunkan titik didih.
b) Sifat Kimia
Alkena mempunyai gugus fungsi yang berupa ikatan-ikatan rangkap (double bound) oleh karena itu alkena bersifat lebih reaktif dibanding alkana. Alkena-alkena pada suhu sedang biasanya bereaksi dengan berbagai zat pengoksidasi dan pereduksi, asam-asam, radikal-radikal bebas dan berbagai reagensia lainnya.
3. Analisis Alkena
a. Alkena mempunyai gugus fungsi yang berupa ikatan-ikatan rangkap (double bound) oleh karena itu alkena bersifat lebih reaktif dibanding alkana, salah satunya yaitu ikatan rangkap alkena dapat mengadisi Hidrogen Halida (HBr). Jika gas HBr yang bertekanan dialirkan ke dalam cairan alkena maka gas HBr akan diadisi oleh cairan alkena, sehingga tekanan dari gas HBr setelah reaksi akan berkurang. Jumlah tekanan gas sebelum dan sesudah reaksi dapat diukur dengan menggunakan peralatan analitik.
b. Alkena bereaksi cepat dengan Br2 dalam larutan CCl4, terjadi perubahan warna larutan dari larutan berwarna merah menjadi tidak berwarna (decolorization of bromine).
c. Alkena juga bereaksi dengan larutan permanganat encer yang dingin (Baeyer test) menghasilkan endapan coklat dari mangan dioksida.
Tetapi uji ini tidak bersifat spesifik karena tidak hanya alkena yang dapat bereaksi tetapi senyawa-senyawa lain yang mempunyai gugus fungsi yang sama dan mudah teroksidasi seperti alkuna, aldehida juga dapat bereaksi dengan uji ini. Oleh karena uji ini tidak bersifat spesifik.
d. Alkena larut dalam H2SO4 pekat yang dingin dengan cepat, reaksi ini menghasilkan garam oxonium yang larut dan senyawa sulfonat, sedangkan alkana, alkil halida tidak larut sehingga uji ini digunakan untuk membedakan alkena dari alkana dan alkil halida.
e. Struktur dari alkena dapat ditentukan dengan reaksi ozonolisis (pemaksapisahan dengan ozon), berdasarkan identifikasi dari senyawa yang dihasilkan.
ALKOHOL
1. Alkohol
Alkohol merupakan senyawa organik dengan rumus umum ROH, dimana R adalah Gugus alkil/alkil tersubtitusi, dapat berupa rantai lurus atau siklik yang dapat mengandung ikatan rangkap, suatu atom halogen, suatu cincin aromatik atau gugus fungsi hidroksi tambahan.
2. Sifat-sifat Alkohol
a) Sifat Fisika
• Gugus –OH memberikan sifat fisik ynag khas pada alkohol, gugus ini sangat polar dan dapat membentuk ikatan hidrogen dengan molekul-molekulnya sendiri, molekul-molekul netral, dan anion-anion, oleh karena itu titik didih alkohol lebih tinggi daripada alkil halida atau eter.
• Alkohol dengan BM rendah larut dalam air karena adanya ikatan hidrogen antara alkohol dan air.
• Adanya percabangan meningkatkan kelarutan dengan air.
• Bertambahnya gugus –OH menambah hidrofilitas dan kelarutan.
b) Sifat Kimia
• Gugus hidroksil pada alkohol potensial sebagai asam atau basa oleh karena itu bersifat amfoter. Ia bersifat asam jika menyumbangkan ion hidrogen kepada suatu basa, dan bertindak sebagai suatu basajika menerima ion hidrogen dari suatu asam.
• Alkohol dapat bereaksi dengan logam seperti natrium dengan membebaskan gas hidrogen dan membentuk natrium alkoksida.
3. Analisis Alkohol
a. Untuk menentukan jenis alkohol dapat dilakukan pengujian sebagai berikut:
1) Alkohol primer
• Alkohol primer akan teroksidasi menjadi asam karboksilat bila direaksikan dengan KMnO4 oleh bantuan pemanasan, hasil reaksi ditandai dengan terbentuknya larutan berwarna coklat dari MnO2.
• Alkohol Primer dapat teroksidasi menjadi aldehida bila direaksikan dengan K2Cr2O7, hasil reaksi ditandai dengan perubahan warna kuning kemerah merahan dari Cr2O7 menjadi berwarna hijau dari Cr3+.
Aldehida yang dihasilkan dapat dengan cepat teroksidasi menjadi asam karboksilat, oleh karena itu aldehida yang dihasilkan harus dipisahkan dari campuran hasil reaksi dengan tekhnik khusus sebelum teroksidasi.
2) Alkohol Sekunder akan teroksidasi menjadi keton bila direaksikan dengan asam kromat dalam bentuk garamnya yaitu K2Cr2O7, atau CrO3 dalam asam asetat glasial, CrO3 dalam pyridine dan sebagainya.
Alkohol sekunder juga dapat teroksidasi oleh pemanganat panas tetapi reaksi ini jarang digunakan.
3) Alkohol tersier tidak dapat teroksidasi dalam suasana basa, tetapi dengan adanya asam, alkohol tersier dengan cepat akan mengalami dehidrasi membentuk alkene dan alkohol tidak dapat bereaksi dengan KMnO4.
b. Alkohol larut dalam asam sulfat pekat yang dingin sama halnya seperti alkena, amina, dan senyawa lainnya yang mengandung oksigen dan mudah membentuk senyawa sulfonat
c. Uji Lucas dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu alkohol adalah primer, sekunder, atau tersier. Pereaksi uji Lucas terdiri dari campuran HCl pekat dan ZnCl.
• Alkohol tersier
R3C OH HCI, ZnCl2 R3C Cl
lapisan alkil klorida terbentuk segera, larutan menjadi berkabut setelah satu menit
• Alkohol sekunder
R2CH OH HCI, ZnCl2 R2CH Cl
lapisan alkil klorida terlihat jelas setelah lima menit
• Alkohol primer
R OH HCI, ZnCl2 R Cl
tidak ada tanda tanda reaksi yang terlihat bahkan setelah 30 menit atau lebih.
b. Struktur dari alkohol dapat ditentukan dengan iodoform test, menggunakan Iodine dan NaOH, dimana alkohol dengan struktur
akan membentuk endapan CHI3 yang berwarna kuning, sebagai contoh:
sebagai contoh:
Reaksi uji iodoform terdiri dari:
1. Reaksi oksidasi
2. Reaksi halogenasi
3. Reaksi pemaksapisahan
Dari reaksi diatas dapat disimpilkan bahwa senyawa dengan struktur
dapat mamberikan hasil yang positif dengan uji Iodoform
ETER
1. Eter
Senyawa organic dengan rumus umum Eter R-O-R, Ar-O-R, Ar-O-Ar. Contoh senyawa eter
2. Sifat-sifat Eter
a) Sifat Fisika
• Kepolaran eter lemah, titik dididh eter hampir sama dengan alkana dengan BM yang mirip tetapi jauh lebih rendah daripada alkohol-alkohol
• Molekul-molekul eter tidak dapat membentuk ikatan hydrogen satu sama lain, tetapi mereka dapat membentuk ikatan hidrogan dengan senyawa senyawa –OH, oleh karena itu alcohol dan eter dapat bercampur
• Eter dengan bobot molekul rendah seperti dimetil eter benar-benar larut dalam air. Semakin tinggi jumlah atom karbon suatu eter, kelarutannya dalam air semakin rendah.
• Eter merupakan senyawa yang tidak berwarna dengan bau yang khas.
b) Sifat Kimia
• Bereaksi lambat, terutama jika dibandingkan dengan alkohol. Eter tidak bereaksi dengan asam, basa, alkil halida, tahan terhadap peroksida seperti KMnO4 dan pereduksi Na.
• Lambat laun etil mengalami peroksidasi oleh udara, membentuk senyawa yang eksplosif.misalnya dietil eter menjadi dietilidena peroksida.
3. Analisis Eter
a. Gugup fungsi pada eter mempunyai reaktifitas yang rendah, oleh karena itu sifat kimianya tergantung dari hidrokarbon yang terikat pada gugus eter, yang membedakan eter dengan hidrokarbon adalah kelarutannya dalan H2SO4 pekat membentuk oxonium garam.
b. Untuk analisis kuantitatif eter dapat dilakukan dengan metode zeisel, dimana eter direaksikan dengan HCl pekat panas membentuk membentuk CH3I, yang menadakan terbentuknya senyawa gugus alkoksida, kemudian CH3I yang terbentuk direaksikan dengan AgNO3, maka AgNO3 akan terbentuk, melalui perhitungan secara stokiometri maka dapat dihitung berapa jumlah eter yang bereaksi.
c. Identifikasi eter untuk eter aromatik berdasarkan sifat fisik, ditunjukan dengan reaksi pemaksapisahan oleh HCl, senyawa hasil reksi dapat diidentifikasi, dimana salah satunya berbentuk padatan yang titik cairnya dapat dibandingkan standar yang telah ada.
d. Spectroskopis eter dianalisis dengan spektrum infra red, dimana senyawa eter berada pada range 1060 – 1300 cm-1, ditunjukkan pada gambar dibawah ini:
Spektrum infra Red dari n-propil eter
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan
Analisis terhadap senyawa alkana, alkena, alkohol, dan eter didasarkan reaksi spesifiknya terhadap pereaksi tertentu. Analisis dilakukan secara bertahap, apabila tidak dapat diperoleh reaksi yang spesifik. Di bawah ini tabel analisis terhadap alkana, alkena, alkohol, eter.
Senyawa Organik H2SO4 KMnO4 K2Cr2O7 Br2 dalam CCl4
Alkana Tidak larut - - -
Alkena Larut dengan dengan segera + + +
Alkohol Larut + + -
Eter Larut - - -
Identifikasi untuk membedakan alkohol primer, sekunder, tersier
Jenis Alkohol H2SO4 Uji Lucas Uji Iodoform
Alkohol primer Larut - + (apabila mempunyai gugus metil)
Alkohol sekunder Larut + (setelah 5 menit)
Alkohol tersier Larut + (setelah 1 menit) -
Hasil persentasi hari minggu tanggal 17 Mei 2009
1. Pertanyaan:
Untuk identifikasi alkohol itu dapat dilakukan dengan uji iodoform, jelaskan prinsip dan mekanisme reaksi yang terjadi?
Jawaban:
Prinsip yang terjadi pada uji iodoform yaitu terdiri dari 3 tahapan, sebagai berikut:
1) Reaksi oksidasi
2) Reaksi halogenasi
3) Reaksi pemaksapisahan
Suatu pengetahuan mengenai kimia organik tidak dapat diabaikan begitu saja, karena sistem kehidupan terutama terdiri dari air dan senyawa organik, hampir setiap studi yang berhubungan dengan tumbuhan, hewan, atau mikroorganisme tergantung pada prinsip kimia organik. Bidang-bidang studi ini mencakup obat-obatan ilmu kedokteran, biokimia, mikrobiologi dan banyak ilmu pengetahuan yang lainnya.
Senyawa organik mempunyai struktur yang beragam dengan sifat fisika dan kimia yang berbeda beda. Sehingga dari sifat-sifat khasnya kita dapat melakukan analsis terhadap senyawa-senyawa tersebut apabila. Analisis yang dilakukan meliputi analisis secara kulitatif dan secara kuantatif.
Studi mangenai senyawa alifatik khususnya alkana, alkena, alkohol dan eter perlu dipalajari dan dipahami, karena apabila senyawa tersebut berada secara bersamaan sulit untuk diidentifikasi secara langsung, tetapi identifikasi yang dilakukan harus secara bertahap dan berkesinambungan dari yang bersifat umum sampai spesifik.
Makalah ini akan membahas mengenai analisis alkana, alkena, alkohol dan eter, beserta reaksi reaksi yang terjadi, sehingga kita dapat melakukan proses identifikasi dan analisis dengan pengujia yang tepat.
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1. Sumber buku kimia organik Fesenden&Fesenden, mengenai:
a. Pengertian senyawa alkana, alkena, alkohol, dan eter
b. Sifat-sifat kimia dan sifat fisika dari alkana, alkena, alkohol, dan eter
c. Reaksi ozonolisis pada alkena
2. Organic Chemistry Morrison, mengenai:
a. Sifat-sifat fisika dan kimia alkana, alkena, alkohol, eter.
b. Analisis senyawa alkana, meliputi:
• Reaksi pembakaran pada alkana
• Reaksi alkana dengan larutan H2SO4 pekat yang dingin
• Analisia alkana dengan spektrum infra red
• Analisis fisika terhadap alkana
c. Analisis senyawa alkena, meliputi:
• Reaksi Alkena dengan Br2 dalam CCl4
• Identifikasi alkena dengan reaksi adisi oleh HBr
• Reaksi alkena dengan larutan H2SO4 pekat yang dingin
• Reaksi ozonolisis (pemaksa pisahan dengan ozon)
d. Analisis senyawa alkohol, meliputi:
• Identifikasi alkohol primer, sekunder, tersier dengan oksidator KMnO4 dan K2Cr2O7
• Reaksi alkohol dengan larutan H2SO4 pekat yang dingin
• Uji Lucas untuk identifikasi alkohol primer, sekunder dan tesier
• Uji Iodoform terhadap alkohol
e. Analisis senyawa eter, meliputi:
• Reaksi eter dengan larutan H2SO4 pekat
• Analisis kuantitatif eter dengan metode zeisel
• Reaksi pemaksapisahan eter dengan HCl
• Analisis senyawa eter dengan spektrum infra red
BAB III
PEMBAHASAN
ALKANA
1. Alkana
Alkana merupakan kelompok hidrokarbon yang paling sederhana, yaitu senyawa-senyawa yang hanya mengandung karbon dan hidrogen dengan rumus umum CnH2n+n. Alkana hanya mengandung ikatan C-H dan ikatan tunggal C-C.
2. Sifat-sifat Alkana
a. Sifat Fisika
• Alkana adalah senyawa yang bersifat nonpolar, sehingga gaya tarik antar molekul lemah.
• Alkana tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut-pelarut nonpolar seperti benzene, eter.
• Alkana mempunyai titik didih dan titik cair paling rendah dibandingkan dengan senyawa organik lain dengan berat molekul yang sama, karena gaya tarik antar molekul-molekul nonpolar lemah. Sehingga proses pemisahan molekul satu dengan yang lainnya ( proses dari fase cair ke gas) relative memerlukan sedikit energi. Titik didih dan titk cair alkana naik dengan bertambahnya urutan molekul.
b. Sifat Kimia
Alkana maupun sikloalkana tidak reaktif dibandingkan dengan senyawa organikyang memiliki gugus fungsional. Umumnya alkana tidak bereaksi dengan asam kuat, basa, zat pengoksidasi dan zat pereduksi. Karena sifat kurang reaktif ini , maka kadang-kadang alkana disebut sebagai paraffin (Latin: parum affin, “afinitas kecil sekali).
3. Analisis Alkana
a. Alkana merupakan hidrocarbon jenuh oleh karena itu bersifat tidak reaktif bila direaksikan dengan unsur unsur logam kecuali karbon dan hidrogen
b. Untuk menentukan rumus molekul alkana dapat dilakukan dengan reaksi pembakaran (combustion). Dari hasil pembakaran akan diperoleh rumus umum dari alkana CnH2n+n, dari rumus umum ini melalui perhitungan secara stokiometri dapat ditentukan rumus molekul dari senyawa yang dianalisis.
Reaksi pembakaran:
c. Alkana bersifat nonpolar tidak larut dalam air, asam, dan H2SO4. Sifat fisik ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa alkana, jadi bila kita melarutkan suatu senyawa organik yang belum diketahui jenisnya ke dalam air, asam, basa, atau H2SO4 dan senyawa tersebut tidak larut maka dapat dicurigai senyawa tersebut adalah alkana, tetapi uji ini tidak bersifat spesifik terhadap alkana karena ada senyawa organik lain yang bersifat nonpolar selain alkana.
d. Alkana tidak mempunyai gugus fungsi yang bersifat spesifik seperti OH, C-O,dan lain-lain oleh karena itu jika dilakukan analisis terhadap suatu senyawa campuran dengan spektrum infrared maka alkana dapat diidentifikasi setelah senyawa lainnya yang mempunyai gugus fungsi spesifik teridentifikasi terlebih dahulu.
e. Analisis Fisika terhadap alkana meliputi titik didih, titik leleh, bobot jenis, refraksi index, dapat dilakukan dengan membandingkan hasil analisis dengan standar yang telah ada.
f. Struktur dari atom atom yang menyusun molekul senyawa alkana dapat ditentukan menggunakan IR dan NMR Spectra, dengan terlebih dahulu menentukan/menemukan rumus molekul melalui reaksi pembakaran ( combustion).
ALKENA
1. Alkena
Alkena merupakan senyawa hidrokarbon tidak jenuh yang mempunyai ikatan rangkap dua. Rumus umum Alkana CnH2n. Contoh alkena sederhana etilena C2H4, dengan struktur sebagai berikut:
2. Sifat-sifat Alkena
a) Sifat Fisika
• Tidak larut dalam air, sangat larut dalam pelarut nonpolar seperti benzene, eter, dan chloroform.
• Mempunyai bobot jenis yang lebih ringan dari pada air
• Titik didih naik dengan bertambahnya atom C, Seperti pada alkana titik didih naik 20-30oC untuk setiap penambahan C, kecuali untuk homolog yang sangat kecil. Adanya percabangan dapat menurunkan titik didih.
b) Sifat Kimia
Alkena mempunyai gugus fungsi yang berupa ikatan-ikatan rangkap (double bound) oleh karena itu alkena bersifat lebih reaktif dibanding alkana. Alkena-alkena pada suhu sedang biasanya bereaksi dengan berbagai zat pengoksidasi dan pereduksi, asam-asam, radikal-radikal bebas dan berbagai reagensia lainnya.
3. Analisis Alkena
a. Alkena mempunyai gugus fungsi yang berupa ikatan-ikatan rangkap (double bound) oleh karena itu alkena bersifat lebih reaktif dibanding alkana, salah satunya yaitu ikatan rangkap alkena dapat mengadisi Hidrogen Halida (HBr). Jika gas HBr yang bertekanan dialirkan ke dalam cairan alkena maka gas HBr akan diadisi oleh cairan alkena, sehingga tekanan dari gas HBr setelah reaksi akan berkurang. Jumlah tekanan gas sebelum dan sesudah reaksi dapat diukur dengan menggunakan peralatan analitik.
b. Alkena bereaksi cepat dengan Br2 dalam larutan CCl4, terjadi perubahan warna larutan dari larutan berwarna merah menjadi tidak berwarna (decolorization of bromine).
c. Alkena juga bereaksi dengan larutan permanganat encer yang dingin (Baeyer test) menghasilkan endapan coklat dari mangan dioksida.
Tetapi uji ini tidak bersifat spesifik karena tidak hanya alkena yang dapat bereaksi tetapi senyawa-senyawa lain yang mempunyai gugus fungsi yang sama dan mudah teroksidasi seperti alkuna, aldehida juga dapat bereaksi dengan uji ini. Oleh karena uji ini tidak bersifat spesifik.
d. Alkena larut dalam H2SO4 pekat yang dingin dengan cepat, reaksi ini menghasilkan garam oxonium yang larut dan senyawa sulfonat, sedangkan alkana, alkil halida tidak larut sehingga uji ini digunakan untuk membedakan alkena dari alkana dan alkil halida.
e. Struktur dari alkena dapat ditentukan dengan reaksi ozonolisis (pemaksapisahan dengan ozon), berdasarkan identifikasi dari senyawa yang dihasilkan.
ALKOHOL
1. Alkohol
Alkohol merupakan senyawa organik dengan rumus umum ROH, dimana R adalah Gugus alkil/alkil tersubtitusi, dapat berupa rantai lurus atau siklik yang dapat mengandung ikatan rangkap, suatu atom halogen, suatu cincin aromatik atau gugus fungsi hidroksi tambahan.
2. Sifat-sifat Alkohol
a) Sifat Fisika
• Gugus –OH memberikan sifat fisik ynag khas pada alkohol, gugus ini sangat polar dan dapat membentuk ikatan hidrogen dengan molekul-molekulnya sendiri, molekul-molekul netral, dan anion-anion, oleh karena itu titik didih alkohol lebih tinggi daripada alkil halida atau eter.
• Alkohol dengan BM rendah larut dalam air karena adanya ikatan hidrogen antara alkohol dan air.
• Adanya percabangan meningkatkan kelarutan dengan air.
• Bertambahnya gugus –OH menambah hidrofilitas dan kelarutan.
b) Sifat Kimia
• Gugus hidroksil pada alkohol potensial sebagai asam atau basa oleh karena itu bersifat amfoter. Ia bersifat asam jika menyumbangkan ion hidrogen kepada suatu basa, dan bertindak sebagai suatu basajika menerima ion hidrogen dari suatu asam.
• Alkohol dapat bereaksi dengan logam seperti natrium dengan membebaskan gas hidrogen dan membentuk natrium alkoksida.
3. Analisis Alkohol
a. Untuk menentukan jenis alkohol dapat dilakukan pengujian sebagai berikut:
1) Alkohol primer
• Alkohol primer akan teroksidasi menjadi asam karboksilat bila direaksikan dengan KMnO4 oleh bantuan pemanasan, hasil reaksi ditandai dengan terbentuknya larutan berwarna coklat dari MnO2.
• Alkohol Primer dapat teroksidasi menjadi aldehida bila direaksikan dengan K2Cr2O7, hasil reaksi ditandai dengan perubahan warna kuning kemerah merahan dari Cr2O7 menjadi berwarna hijau dari Cr3+.
Aldehida yang dihasilkan dapat dengan cepat teroksidasi menjadi asam karboksilat, oleh karena itu aldehida yang dihasilkan harus dipisahkan dari campuran hasil reaksi dengan tekhnik khusus sebelum teroksidasi.
2) Alkohol Sekunder akan teroksidasi menjadi keton bila direaksikan dengan asam kromat dalam bentuk garamnya yaitu K2Cr2O7, atau CrO3 dalam asam asetat glasial, CrO3 dalam pyridine dan sebagainya.
Alkohol sekunder juga dapat teroksidasi oleh pemanganat panas tetapi reaksi ini jarang digunakan.
3) Alkohol tersier tidak dapat teroksidasi dalam suasana basa, tetapi dengan adanya asam, alkohol tersier dengan cepat akan mengalami dehidrasi membentuk alkene dan alkohol tidak dapat bereaksi dengan KMnO4.
b. Alkohol larut dalam asam sulfat pekat yang dingin sama halnya seperti alkena, amina, dan senyawa lainnya yang mengandung oksigen dan mudah membentuk senyawa sulfonat
c. Uji Lucas dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu alkohol adalah primer, sekunder, atau tersier. Pereaksi uji Lucas terdiri dari campuran HCl pekat dan ZnCl.
• Alkohol tersier
R3C OH HCI, ZnCl2 R3C Cl
lapisan alkil klorida terbentuk segera, larutan menjadi berkabut setelah satu menit
• Alkohol sekunder
R2CH OH HCI, ZnCl2 R2CH Cl
lapisan alkil klorida terlihat jelas setelah lima menit
• Alkohol primer
R OH HCI, ZnCl2 R Cl
tidak ada tanda tanda reaksi yang terlihat bahkan setelah 30 menit atau lebih.
b. Struktur dari alkohol dapat ditentukan dengan iodoform test, menggunakan Iodine dan NaOH, dimana alkohol dengan struktur
akan membentuk endapan CHI3 yang berwarna kuning, sebagai contoh:
sebagai contoh:
Reaksi uji iodoform terdiri dari:
1. Reaksi oksidasi
2. Reaksi halogenasi
3. Reaksi pemaksapisahan
Dari reaksi diatas dapat disimpilkan bahwa senyawa dengan struktur
dapat mamberikan hasil yang positif dengan uji Iodoform
ETER
1. Eter
Senyawa organic dengan rumus umum Eter R-O-R, Ar-O-R, Ar-O-Ar. Contoh senyawa eter
2. Sifat-sifat Eter
a) Sifat Fisika
• Kepolaran eter lemah, titik dididh eter hampir sama dengan alkana dengan BM yang mirip tetapi jauh lebih rendah daripada alkohol-alkohol
• Molekul-molekul eter tidak dapat membentuk ikatan hydrogen satu sama lain, tetapi mereka dapat membentuk ikatan hidrogan dengan senyawa senyawa –OH, oleh karena itu alcohol dan eter dapat bercampur
• Eter dengan bobot molekul rendah seperti dimetil eter benar-benar larut dalam air. Semakin tinggi jumlah atom karbon suatu eter, kelarutannya dalam air semakin rendah.
• Eter merupakan senyawa yang tidak berwarna dengan bau yang khas.
b) Sifat Kimia
• Bereaksi lambat, terutama jika dibandingkan dengan alkohol. Eter tidak bereaksi dengan asam, basa, alkil halida, tahan terhadap peroksida seperti KMnO4 dan pereduksi Na.
• Lambat laun etil mengalami peroksidasi oleh udara, membentuk senyawa yang eksplosif.misalnya dietil eter menjadi dietilidena peroksida.
3. Analisis Eter
a. Gugup fungsi pada eter mempunyai reaktifitas yang rendah, oleh karena itu sifat kimianya tergantung dari hidrokarbon yang terikat pada gugus eter, yang membedakan eter dengan hidrokarbon adalah kelarutannya dalan H2SO4 pekat membentuk oxonium garam.
b. Untuk analisis kuantitatif eter dapat dilakukan dengan metode zeisel, dimana eter direaksikan dengan HCl pekat panas membentuk membentuk CH3I, yang menadakan terbentuknya senyawa gugus alkoksida, kemudian CH3I yang terbentuk direaksikan dengan AgNO3, maka AgNO3 akan terbentuk, melalui perhitungan secara stokiometri maka dapat dihitung berapa jumlah eter yang bereaksi.
c. Identifikasi eter untuk eter aromatik berdasarkan sifat fisik, ditunjukan dengan reaksi pemaksapisahan oleh HCl, senyawa hasil reksi dapat diidentifikasi, dimana salah satunya berbentuk padatan yang titik cairnya dapat dibandingkan standar yang telah ada.
d. Spectroskopis eter dianalisis dengan spektrum infra red, dimana senyawa eter berada pada range 1060 – 1300 cm-1, ditunjukkan pada gambar dibawah ini:
Spektrum infra Red dari n-propil eter
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan
Analisis terhadap senyawa alkana, alkena, alkohol, dan eter didasarkan reaksi spesifiknya terhadap pereaksi tertentu. Analisis dilakukan secara bertahap, apabila tidak dapat diperoleh reaksi yang spesifik. Di bawah ini tabel analisis terhadap alkana, alkena, alkohol, eter.
Senyawa Organik H2SO4 KMnO4 K2Cr2O7 Br2 dalam CCl4
Alkana Tidak larut - - -
Alkena Larut dengan dengan segera + + +
Alkohol Larut + + -
Eter Larut - - -
Identifikasi untuk membedakan alkohol primer, sekunder, tersier
Jenis Alkohol H2SO4 Uji Lucas Uji Iodoform
Alkohol primer Larut - + (apabila mempunyai gugus metil)
Alkohol sekunder Larut + (setelah 5 menit)
Alkohol tersier Larut + (setelah 1 menit) -
Hasil persentasi hari minggu tanggal 17 Mei 2009
1. Pertanyaan:
Untuk identifikasi alkohol itu dapat dilakukan dengan uji iodoform, jelaskan prinsip dan mekanisme reaksi yang terjadi?
Jawaban:
Prinsip yang terjadi pada uji iodoform yaitu terdiri dari 3 tahapan, sebagai berikut:
1) Reaksi oksidasi
2) Reaksi halogenasi
3) Reaksi pemaksapisahan
asam karboksilat
BAB I
Pendahuluan
Latar belakang
Derivat asam karboksilat adalah senyawa yang menghasilkan asam karboksilat bila di reaksikan dengan air. Didalam alam sendiri banyak terdapat derivat dari asam karboksilat ini, diantaranya adalah ester, amida, dan anhidrida asam karboksilat. Sedangkan klorida asam belum pernah dijumpai dalam alam. Kebutuhan akan senyawa-senyawa asam karboksilat ini menuntut dihasilkannya secara sintetis. Maka dalam makalah kali ini saya akan menyampaikan penjelasan tentang pembuatan serta reaksi dari derivate asam karboksilat, serta metode analisa senyawa derivate asam karboksilat..
Tujuan
1. Agar mahasiswa dapat memahami dengan baik tentang derivate asam karboksilat dan asam karbonat termasuk struktur dan tata nama.
2. Agar mahasiswa mengerti reaksi pembuatan dan reaksi-reaksi yang terkait dengan derivat asam karboksilat dan asam karbonat.
3. Agar mahasiswa mengerti tentang analisa derivate asam karboksilat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
A. Struktur
Senyawa-senyawa kimia yang terkait erat dengan asam karboksilat yang disebut sebagai derivat fungsional asam karboksilat, adalah; klorida asam, anhidrida, amida, dan ester. Derivat-derivat ini terbentuk dari gugus –OH dari dari golongan senyawa karboksilat yang digantika oleh gugus –Cl, -OOCR, -NH2, atau –OR’.
Senyawa-senyawa tersebut mengandung gugus Asil
Seperti halnya asam karboksilat, derivat asamnya dapat berbentuk senyawa dengan rantai alifatik atau aromatis, tersubtitusi atau tak tersubtitusi; apapun bentuk struktur sisa molekulnya, komponen dari gugus fungsional adalah sama.
B. Tata Nama
Senyawa derivat asam diberi nama dengan dua cara, baik dengan nama umum, maupun dengan sistem penamaan IUPAC yang berhubungan dengan penamaan asam karboksilat. Sebagai contoh;
C. Sifat Fisik
Dengan adanya kandungan unsur karbon dan oksigen, menyebabkan derivat asam bersifat polar. Klorida asam, anhidrida, dan ester mempunyai titik didih serupa dengan senyawa aldehida dan keton, dengan perbandingan bobot molekul yang sama. Amida mempunyai titik didih yang cukup tinggi, karena mempunyai kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen antar molekul yang kuat.
Kelarutan ester dalam air terbatas untuk panjang ikatan tiga sampai lima atom karbon, sedangkan tiga sampai lima atau enam atom karbon untuk amida. Derivate asam larut dalam pelarut organik.
Senyawa ester mudah menguap, dan mempunyai bau yang khas, dan harum. Ester seringkali digunakan sebagai bahan baku pembuatan parfum atau perisa makanan. Klorida asam mempunyai bau yang tajam menyengat, senyawa ini mudah sekali terhidrolisis menjadi HCl dan asam karboksilat.
D. Reaksi dan Pembuatan
1. Klorida asam
Reaksi-reaksi klorida asam
Konversi menjadi asam dan derivatnya
a. Hidrolisis, konversi menjadi asam.
Contoh:
b. Amonolisis, konversi menjadi amida.
Contoh:
c. Alkoholisis, konversi menjadi esters.
Contoh:
Asilasi Friedel-Crafts, pembentukan keton.
Reaksi Organocadmium, pembentukan keton.
Reduksi, pembentukan aldehida.
Konversi klorida asam menjadi derivat asam
2. Anhidrida asam
Reaksi-reaksi anhidrida asam
Konversi menjadi asam dan derivatnya.
- Hidrolisis, konversi menjadi asam
- Amonolisis, konversi menjadi amida
- Alkoholisis, konversi menjadi ester
Asilasi Friedel-Crafts, pembentukan keton
Contoh:
3. Amida
Reaksi-reaksi amida
Hidrolisis
Contoh:
Konversi menjadi imida
Degradasi Hofmann terhadap amida
4. Ester
Reaksi-reaksi pada ester biasanya dibuat dari asam atau derivate asam.
Pembuatan ester
Dari asam
Contohnya
Dari klorida asam atau anhidrida
Contohnya
Dari ester
Akan dibahas dalam pembahasan selanjutnya.
Reaksi-reaksi ester
1. Dengan asam dan derivatnya
Hidrolisis asam
Contohnya:
Reaksi dengan amoniak
Contohnya:
Transesterifikasi
Contohnya:
2. Reaksi dengan reagensia Grignard.
Merupakan teknik yang sangat bagus untuk membuat alcohol tersier dengan dua gugus R yang identik.
Contohnya:
3. Reduksi
Ester dapat direduksi oleh hidrogenasi katalitik. Suatu reaksi yang kadang-kadang disebut hidrogenolisis ester atau oleh litium aluminium hidrida. Suatu
teknik yang lebih tua adalah reaksi antara ester dan logam natrium dalam etanol. Apapun zat pereduksinya dihasilkan sepasang alcohol (sekurangnya satu adalh alcohol primer) dari reduksi suatu ester.
Hidrogenolisis
Contohnya:
Reduksi Kimia
Contohnya:
4. Reaksi Dengan Karbon
E. Poliester
Asam karboksilat dengan gugus hidroksil dalam posisi α atau β tidak mudah membentuk
Lakton siklik yang biasa, karena akan dihasilkan cincin kecil yang tegang. Asam karboksilat dengan gugus hidroksil lebih jauh dari posisi γ atau δ tidak dengan serta merta membentuk lakton. Tetapi lakton asam-asam hidroksi dapat disintesis pada kondisi yang biasa digunakan untuk esterifikasi. Dalam hal-hal seperti ini digunakan larutan encer asam hidroksi dalam suatu pelarut lamban (inert). Suatu reaksi antar molekul lebih disukai dalam larutan encer, karena tabrakan antar molekul-molekul lebih jarang terjadi. Jika larutan dipekatkan, molekul-molekkul asam hidroksi akan bereaksi satu sama lain dan mengahsilkan suatu poliester.
Pada kedua hal tersebut tadi suatu pelarut misalnya benzene memungkinkan air yang dihasilkan untuk didestilasi sebagai suatu azeotrop dan menggagalkan reaksi untuk mengasilkan lakton (polyester).
Serat sintetik Dacron adalah polyester yang dibuat dengan reaksi transesterifikasi antar dimetil tareftalat dan etilenaglikol. Alasan mengapa pembentukan polimer itu dapat terjadi adalah bahwa pereaksi-pereaksi itu bersifat bifungsional, jadi tiap pereaksi dapat bereaksi dengan molekul lain.
Bila monomer itu bifungsional, seperti dimetil tareftalat dan etilenaglikol, pertumbuhan polimer haruslah terjadi dengan cara linear. Polimer linear sering kali menjadi serat tekstil yang sangat bagus. Jika terdapat lebih dri dua letak reaktif dalam salah satu monomer maka polimer itu dapat tumbuh dalam suatu jaaringan silang. Gliptal (suatu polimer dari gliserol dan anhidrida asam ftalat) merupakan contoh polyester hubungan silang.
Pendahuluan
Latar belakang
Derivat asam karboksilat adalah senyawa yang menghasilkan asam karboksilat bila di reaksikan dengan air. Didalam alam sendiri banyak terdapat derivat dari asam karboksilat ini, diantaranya adalah ester, amida, dan anhidrida asam karboksilat. Sedangkan klorida asam belum pernah dijumpai dalam alam. Kebutuhan akan senyawa-senyawa asam karboksilat ini menuntut dihasilkannya secara sintetis. Maka dalam makalah kali ini saya akan menyampaikan penjelasan tentang pembuatan serta reaksi dari derivate asam karboksilat, serta metode analisa senyawa derivate asam karboksilat..
Tujuan
1. Agar mahasiswa dapat memahami dengan baik tentang derivate asam karboksilat dan asam karbonat termasuk struktur dan tata nama.
2. Agar mahasiswa mengerti reaksi pembuatan dan reaksi-reaksi yang terkait dengan derivat asam karboksilat dan asam karbonat.
3. Agar mahasiswa mengerti tentang analisa derivate asam karboksilat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
A. Struktur
Senyawa-senyawa kimia yang terkait erat dengan asam karboksilat yang disebut sebagai derivat fungsional asam karboksilat, adalah; klorida asam, anhidrida, amida, dan ester. Derivat-derivat ini terbentuk dari gugus –OH dari dari golongan senyawa karboksilat yang digantika oleh gugus –Cl, -OOCR, -NH2, atau –OR’.
Senyawa-senyawa tersebut mengandung gugus Asil
Seperti halnya asam karboksilat, derivat asamnya dapat berbentuk senyawa dengan rantai alifatik atau aromatis, tersubtitusi atau tak tersubtitusi; apapun bentuk struktur sisa molekulnya, komponen dari gugus fungsional adalah sama.
B. Tata Nama
Senyawa derivat asam diberi nama dengan dua cara, baik dengan nama umum, maupun dengan sistem penamaan IUPAC yang berhubungan dengan penamaan asam karboksilat. Sebagai contoh;
C. Sifat Fisik
Dengan adanya kandungan unsur karbon dan oksigen, menyebabkan derivat asam bersifat polar. Klorida asam, anhidrida, dan ester mempunyai titik didih serupa dengan senyawa aldehida dan keton, dengan perbandingan bobot molekul yang sama. Amida mempunyai titik didih yang cukup tinggi, karena mempunyai kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen antar molekul yang kuat.
Kelarutan ester dalam air terbatas untuk panjang ikatan tiga sampai lima atom karbon, sedangkan tiga sampai lima atau enam atom karbon untuk amida. Derivate asam larut dalam pelarut organik.
Senyawa ester mudah menguap, dan mempunyai bau yang khas, dan harum. Ester seringkali digunakan sebagai bahan baku pembuatan parfum atau perisa makanan. Klorida asam mempunyai bau yang tajam menyengat, senyawa ini mudah sekali terhidrolisis menjadi HCl dan asam karboksilat.
D. Reaksi dan Pembuatan
1. Klorida asam
Reaksi-reaksi klorida asam
Konversi menjadi asam dan derivatnya
a. Hidrolisis, konversi menjadi asam.
Contoh:
b. Amonolisis, konversi menjadi amida.
Contoh:
c. Alkoholisis, konversi menjadi esters.
Contoh:
Asilasi Friedel-Crafts, pembentukan keton.
Reaksi Organocadmium, pembentukan keton.
Reduksi, pembentukan aldehida.
Konversi klorida asam menjadi derivat asam
2. Anhidrida asam
Reaksi-reaksi anhidrida asam
Konversi menjadi asam dan derivatnya.
- Hidrolisis, konversi menjadi asam
- Amonolisis, konversi menjadi amida
- Alkoholisis, konversi menjadi ester
Asilasi Friedel-Crafts, pembentukan keton
Contoh:
3. Amida
Reaksi-reaksi amida
Hidrolisis
Contoh:
Konversi menjadi imida
Degradasi Hofmann terhadap amida
4. Ester
Reaksi-reaksi pada ester biasanya dibuat dari asam atau derivate asam.
Pembuatan ester
Dari asam
Contohnya
Dari klorida asam atau anhidrida
Contohnya
Dari ester
Akan dibahas dalam pembahasan selanjutnya.
Reaksi-reaksi ester
1. Dengan asam dan derivatnya
Hidrolisis asam
Contohnya:
Reaksi dengan amoniak
Contohnya:
Transesterifikasi
Contohnya:
2. Reaksi dengan reagensia Grignard.
Merupakan teknik yang sangat bagus untuk membuat alcohol tersier dengan dua gugus R yang identik.
Contohnya:
3. Reduksi
Ester dapat direduksi oleh hidrogenasi katalitik. Suatu reaksi yang kadang-kadang disebut hidrogenolisis ester atau oleh litium aluminium hidrida. Suatu
teknik yang lebih tua adalah reaksi antara ester dan logam natrium dalam etanol. Apapun zat pereduksinya dihasilkan sepasang alcohol (sekurangnya satu adalh alcohol primer) dari reduksi suatu ester.
Hidrogenolisis
Contohnya:
Reduksi Kimia
Contohnya:
4. Reaksi Dengan Karbon
E. Poliester
Asam karboksilat dengan gugus hidroksil dalam posisi α atau β tidak mudah membentuk
Lakton siklik yang biasa, karena akan dihasilkan cincin kecil yang tegang. Asam karboksilat dengan gugus hidroksil lebih jauh dari posisi γ atau δ tidak dengan serta merta membentuk lakton. Tetapi lakton asam-asam hidroksi dapat disintesis pada kondisi yang biasa digunakan untuk esterifikasi. Dalam hal-hal seperti ini digunakan larutan encer asam hidroksi dalam suatu pelarut lamban (inert). Suatu reaksi antar molekul lebih disukai dalam larutan encer, karena tabrakan antar molekul-molekul lebih jarang terjadi. Jika larutan dipekatkan, molekul-molekkul asam hidroksi akan bereaksi satu sama lain dan mengahsilkan suatu poliester.
Pada kedua hal tersebut tadi suatu pelarut misalnya benzene memungkinkan air yang dihasilkan untuk didestilasi sebagai suatu azeotrop dan menggagalkan reaksi untuk mengasilkan lakton (polyester).
Serat sintetik Dacron adalah polyester yang dibuat dengan reaksi transesterifikasi antar dimetil tareftalat dan etilenaglikol. Alasan mengapa pembentukan polimer itu dapat terjadi adalah bahwa pereaksi-pereaksi itu bersifat bifungsional, jadi tiap pereaksi dapat bereaksi dengan molekul lain.
Bila monomer itu bifungsional, seperti dimetil tareftalat dan etilenaglikol, pertumbuhan polimer haruslah terjadi dengan cara linear. Polimer linear sering kali menjadi serat tekstil yang sangat bagus. Jika terdapat lebih dri dua letak reaktif dalam salah satu monomer maka polimer itu dapat tumbuh dalam suatu jaaringan silang. Gliptal (suatu polimer dari gliserol dan anhidrida asam ftalat) merupakan contoh polyester hubungan silang.
tugas kimia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Senyawa halogen sangat penting karena berbagai sebab. Alkil dan aril halida sederhana, terutama klorida dan bromida, adalah cikal bakal sintesis kimia organik. Melalui reaksi subtitusi, yang akan di paparkan dalam bab ini, halogen dapat digantikan dengan gugus fungsi lain. Halida-halida organik juga dapat dirubah menjadi senyawa-senyawa jenuh eliminasi. Akhirnya, banyak senyawa-senyawa organik mempunyai kegunaan praktis, sebagai ansektisida, herbisida, pencegah api, cairan pembersih dan refrigeran, dan sebagainya. Dalam bab ini akan dibahas semua segi mengenai senyawa-senyawa halogen.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca dan penulis dapat menambah wawasan dan pemahaman tentang reaksi subtitusi nukleofilik (SN1 dan SN2) dan eliminasi (E1 dan E2).
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup yang menjadi topik makalah ini adalah perbedaan antara reaksi SN1, SN2, E1 dan E2 baik ditinjau dari sudut mekanisme reaksi, sterokimia reaksi energi dalam reaksi yang bersangkutan, laju reaksi dan sebagainya.
1.4 Dasar Teori
Suatu reaksi subtitusi (SN1danSN2) maupun eliminasi (E1dan E2) dapat diidentifikasi dengan berbagai macam cara diantaranya melalui mekanisme reaksi, sterokimia, dan sebagainya
Sebagai contoh perbedaan rekasi subtitusi (SN1danSN2) dilihat dari struktur halida pada reaksi SN2 struktur halida bentuk tersier terjadi lambat sedangkan pada SN1 dapat terjadi dengan cepat karena pada SN2 di bagian belakang karbon , tempat pergantian terjadi, keadaanya akan semakin berdesakan apabila gugus alkil yang melekat pada karbon yang membawa gugus pergi semakin banyak, sehingga reaksinya menjadi lambat, alasan untuk reaktivitas ini lebih jelas bila kita menggambarkan mekanismenya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2.1 Reaksi Subtitusi (FESSENDEN)
Atom karbon ujung suatu alkil halida mempunyai muatan positif parsial. Karbon ini rentetan terhadap (susceptible; mudah diserang oleh)serangan oleh anion dan spesi lain apa saja yang mempunyai spesi lain apa saja yang mempunyai sepasang elektron menyendiri (unshered) dalam kulit luarnya. Dihasilkan reaksi subtitusi – suatu reaksi dalam nama satu atom,ion atau gugusan disubtitusikan untuk (menggantikan) atom,ion atau gugus lain.
elektron ikatan - o
pergi bersama halogen
δ+ δ-
HO + CH3CH2 Br CH3CH2 OH + Br -
ion hidroksida bromoetana etanol
Dalam reaksi subtitusi akil halida itu disebut gugus pergi (leaving group) suatu istilah yang berarti gugus apa saja yang dapat digeser dari ikatannya dengan suatu atom karbon. Ion halida merupakan gugus pergi yang baik, karna ion-ion ini merupakan basa yang sangat lemah. Basa kuat seperti misalnya OH-, bukan gugus pergi yang baik.dalam reaksi subtitusi halida,ion iodida adalah halida yang paling mudah digantikan, baru ion bromida dan kemudian klorida. Karena F- merupakan basa yang kuat daripada ion halida yang lain, dan arena ikatan C-F lebih kuat daripada ikatan C-X lain.
RF RCl RBr RI
naiknya reaktifitas
Spesi (species) yang menyerang suatu alkil halida dalam suatu reaksi subtitusi disebut nukleofil, sering dilambangkan dengan Nu-. Dalam persamaan reaksi diatas, OH- dan CH3 O- adalah nukleofil. Umumnya,sebuh nukleofil ialah spesi apa saja yang tertarik ke suatu pusat positif; jadi sebuah nukleofil ialah suatu basa lewis. Kebanyakan nukleofil adalah anion; namun,beberapa molekul polar yang netral, seperti H2O,CH3OH dan CH3 NH2 dapat juga bertindak sebagai nukleofil.Molekul netral ini memiliki pasangan elektro menyendiri,yang dapat digunakan untuk membentuk ikatan sigma.Substitusi oleh nukleofil disebut substitusi nukleofil atau pergantian nukleofil (nucleophilic displacement ).
2.2.2 Reaksi Eliminasi (FESSENDEN)
Bila suatu alkil halida diolah dengan suatu basa kuat,dapat terjadi suatu reaksi eliminasi. Dalam reaksi ini sebuah molekul kehilangan atom-atom atau ion-ion dari dalam strukturnya.Produk organik suatu reaksi eliminasi suatu alkil halida adalah suatu alkena.Dalam tipe reaksi eliminasi ini,unsur H dan X keluar dari dalam alkil halida;oleh karena itu reaksi ini juga disebut reaksi dehidrohalogenasi.( Awalan de- berarti “minus” atau “hilangnya”).
Br H
CH3CH - CH2 + OH CH3CH = CH2 + H2O + Br -
2- bromopropana propena
(isopropyl bromide) (propilena)
2.2.3 Nukleofilisitas Lawan Kebasaan (FESSENDEN)
Semua basa dapat bertindak sebagai nukleofil. Sebaliknya, semua nukleofil dapat bertindak sebagai basa. Dalam masa-masa kasus,pereaksi (reagent) bereaaksi dengan cara menyumbangkan sepasang elektronnya untuk membentuk suatu ikatan sigma baru.
Kebasaan ialah ukuran kemampuan pereaksi untuk menerima sebuah proton dalam suatu reaksi asam-basa. Oleh karena itu kuat basa relatif dari sederet pereaksi ditentukan dengan membandingkan letak relatif kesetimbangan mereka dalam suatu reaksi asam,-basa,seperti misalnya derajat ionisasi air.
basa kuat
I - Br - Cl - ROH H2O - C ≡ N - OH - OR
Naiknya kebasaan
kontras dengan kebasaan, nukleofisilitas ialah ukuran kemampuan suatu pereaksi untuk menyebabkan (terjadinya) suatu reaksi subtitusi. Nukleofilisitas relatif dari sederet.
CH3CH2 - Br + OH CH3CH2 - OH + Br
H2O ROH Cl - Br - OH - OR I - - C ≡ N
naiknya nukleofilisitas
Data daftar nukleofilisitas relativetidak paaralel secara eksak denaan daftar kuat basa ; suatu basa lebih kuat biasanya juga nukleofili yang lebih baik dari suatu basa lebih lemah.misalnya, OH -(suatu basa kuat) adalah nukleofilik yang lebih baik dari pada atau H2O (basa lemah). Karena beberapa alkil halida dapat menjalani reaksi subtitusi dan eliminasi.pereaksi seperti OH- dpat bertindak baik sebagai nukleofil dalam suau bejana reaksi.
( CH3)2CHBr + -OH H2O (CH3)2CHOH + CH2 = CHCH3
terbentuk oleh – OH terbentuk oleh -OH
yang bertindak yang bertindak sebagai
sebagai nukleofil basa
2.2.4 REAKSI SN2 (FESSENDEN)
Bromoetana dengan ion hidroksida yang menghasilkan etanol dan ion bromida adalah suatu reaksi SN2 yang khas (SN2 berarti “ subtitusi,nukleofilik,bimolekuler ).
Metil halida dan alkil halida primer apa saja,bereaksi Sn2 dengan nukleofilik yang agak kuat;-OH,-CN dan lain-lain yang belum disebut. Metil halida dan akil halida primer juga bereaksi dengan nukleofil lemah, seperti H2O, tetapi reaksi –reaksi ini terlalu lambat tak sehingga tak bermanfaat.Alkil halida sekunder dapat bereaksi Sn2; tetap alkil halida tersier tidak.
2.2.4.1 Mekanisme Reaksi SN2 (FESSENDEN)
Pemerian terinci mengenai bagaimana reaksi berlangsung disebut mekanisme reaksi. Suatu mekanisme reaksi harus bisa menjelaskan semua fakta yang diketahui banyak fakta dan untuk mekanisme-mekanisme reaksi tertentu telah disepakati oleh pakar kimia. Sementara itu mekanisme reaksi-reaksi lain masih sangat bersifat dugaan (speculative).
Agar bereaksi pertama-tama molekul-molekul itu harus saling bertabrakan. Kebanyakan tabrakan antar molekul itu tidak mengakibatkan suatu reaksi; molekul-molekul itu hanyalah terpental kembali. Agar bereaksi, molekul-molekul yang bertabrakan itu harus mengandung energi potensial agar terjadi pematahan ikatan. Juga sikap (orientasi) molekul-molekul itu, satu terhadap yang lain, sering merupakan faktor penting dalam menentukan apakah suatu reaksi akan terjadi. Terutama untuk suatu reaksi SN2 hal ini memang benar.
2.2.4.2 Stereokimia reaksi SN2 (FESSENDEN dan WWW.CHEM-IS-TRY.ORG.COM)
Dalam reaksi SN2 antara bromoetana dan ion hidroksida, oksigen dari ion hidroksida menabrak bagian belakang karbon ujung dan menggantikan ion bromida:
Reaksi SN2 keseluruhan :
H CH3 H3C H
HO - - - C Br - - HO C + Br -
H H
serangan dari belakang
Bila sebuah nukleofil menabrak sisi belakang suatu atom karbon tetrahedral yang terikat pada sebuah halogen, dua peristiwa terjadi sekaligus: (1) suatu ikatan baru mulai terbentuk, dan (2) ikatan C – X mulai patah. Proses ini disebut proses setahap atau proses serempak (concerted). Jika energi potensial kedua spesi yang bertabrakan cukup tinggi, tercapai suatu titik dimana, dilihat dari segi energi, pembentukan ikatan baru dan pematahan ikatan C – X lama dimudahkan. Ketika pereaksi diubah menjadi produk, mereka harus melewati suatu keadaan-antara, yang memiliki potensial tinggi, dibandingkan dengan energi pereaksi atau produk. Keadaan-antara ini disebut keadaan transisi (transition state) atau kompleks terreaktifkan (activated complex). Karena keadaan transisi melibatkan dua partikel (Nu- dan RX), maka reaksi SN2 dikatakan bersifat bimolekuler (bimolecular angka “2” dalam SN2 menyatakan bimolekuler).
ikatan parsial
H CH3
H CH3 H3C H
HO- + C Br HO - - - C - - - Br OH C +Br -
H H H
Pereaksi keadaan transisi produksi
energy potensial tinggi
mampu kembali kepereaksi
atau terus keproduk
Suatu keadaan transisi dalam reaksi apa saja adalah penataan berenergi-tinggi dan kilas (dari) pereaksi ketika berubah menjadi produk. Suatu keadaan transisi tak dapat isolasi dan disimpan dibotol. Keadaan transisi hanyalah suatu pemerian dari “ dalam keadaan berubah.” Akan sering digunakan tanda kurung siku dalam persamaan reaksi, untuk menunjukan struktur sementara yang tidak dapat diisolasi, dalam reaksi itu disini tanda kurung siku digunakan terhadap struktur suatu keadaan transisi. Kelak tanda ruang ini kadang-kadang digunakan untuk menyatakan produk-produk tak setabil, yang bereaksi lebih lanjut.
H CH3 H CH3
---- C---- atau C
H karbon sp2 H
Ketika nukleofil menyerang dari arah belakang molekul (dilihat dari atom halogen), ketiga gugus yang terikat pada karbon berubah posisi menjadi rata dalam keadaan transisi, kemudian membalik kesisi lain, sangat mirip dengan payung yang kelewatan terbukannya (model molekul akan sangat bermanfaat untuk menghayati proses ini). Peristiwa membalik ini disebut inversi konfigurasi atau inversi Walden.
Adannya inverse sebagai bagian mekanisme suatu reaksi SN2 diperagakan dengan indahnya, oleh reaksi enantiomer murni dari alkil halide sekunder kita. Misalnya, reaksi SN2 dari (R) – 2- bromooktana dengan –OH menghasilkan (S)-2-oktanol secara hampir ekslusif.
H CH2 (CH2)4CH3 CH2 (CH2)4CH3
HO + C Br SN2 HO C H + Br
CH3 CH3
(R)-2-bromooktana (S)-2oktanol
96% inversi
Kebanyakan reaksi yang melibatkan molekul kiral dilaksanakan dengan campuran rasemik, yakni campuran ekuimolar reaktan (R) dan (S), dalam hal-hal ini produk juga berupa campuran rasemik. Meskipun terjadi juga inversi, efek ini tak dapat diamati karena separuh molekul-molekul menuju kesatu arah dan separuh lainnya menuju kearah yang berlawanan.
(R)-RX + (S)-RX OHSN2 (S)-ROH + (R)-ROH
Rasemik Rasemik
2.2.4.3 Laju reaksi SN2 (FESSENDEN)
Tiap molekul yang bereaksi dan menghasilkan produk harus melewati keadaan transisi, baik strukturnya maupun energinya. Karena energi molekul-molekul tidak sama, maka diperlukan waktu agar semua molekul itu bereaksi. Persaratan waktu ini menimbulkan pengertian dan besaran yang disebut laju reaksi ( rate of reaction). Laju reaksi kimia ialah ukuran berapa cepat reaksi itu berlangsung; yakni berapa cepat pereaksi itu habis dan produk terbentuk. Kinetika reaksi mempelajari dan mengukur laju-laju reaksi.
Laju reaksi bergantung pada banyak variabel beberapa diantaranya dapat dibuat konstan untuk suatu eksperimen tertentu (misalnya temperatur dan pelarut). Dalam bab ini dua variabel yang terutama diperhatikan ialah : (1) Konsetrasi pereaksi, dan (2) struktur pereaksi.
Menambah konsentrasi pereaksi yang mengalami reaksi SN2, akan menambah laju terbentuknya produk, karena akan menambah seringnya tabrakan antara molekul-molekul. Lazimnya laju reaksi SN2 berbanding lurus dengan konsentrasi-konsentrasi kedua pereaksi. Jika semua variabel lainnya dibuat konstan dan konsentrasi alkil halida atau konsentrasi nukleofil dilipat-dua kali, maka laju pembentukan produk juga berlipat dua. Jika salah satu konsentrasi dilipat-tiga kan, laju juga akan berlipat tiga.
Nu:- + RX RNu + X -
Laju SN2 = k [RX] [Nu:-]
Karena laju suatu reaksi SN2 bergantung pada konsentrasi dari dua partikel (RX dan Nu:-), maka laju itu dikatana order kedua (second order). Reaksi SN2 dikatakan mengikuti kinetika order-kedua. (Meskipun reaksi SN2 juga bimolekular, tidak setiap reaksi bimolekular, tidak setiap reaksi bimolekular adalah dari order-kedua dan tidak tiap reaksi order-kedua adalah bimolekular.
2.2.4.4 Pengaruh Struktur Pada Laju (FESSENDEN)
Kinetika reaksi memberikan suatu cara yang berharga untuk memeriksa efek-efek struktur terhadap reaktivitas. Perhatikan dua reaksi tersebut:
. OH- + CH3 Br. CH3OH + Br-
bromometana metanol
suatu metil halida
OH- +CH3 CH2Br CH3CH2OH + Br-
bromoetana etanol
suatu alkil bromida primer
Keduanya reaksi SN 2 dan keduanya menghasilakan alkohol. Kedua reaksi itu hanya berbeda dalam bagian alkil dari alkil halida. Perbedaan dalam gugus alkil ini mempengaruhi laju reaksi SN 2 atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini, laju kedua reaksi itu diukur pada kondisi reaksi yang sama (pelarut, konsentrasi dan temperatur sama). Kemudian atau kedua tetapan laju (k1 dan k2 ) ditetapkan atau, lebih lazim laju relatif ditetapkan. OH- + CH3 Br
Dalam suatu studi dijumpai bahwa bromometana bereaksi 30X lebih cepat daripada bromoetana. (jika reaksi bromoetana perlu satu jam untuk selesai separuh, maka reaksi bromometana hanya memerlukan 1/30 kalinya, atau 2 menit, untuk menyelesaikan separuh reaksi. Dapat disimpulkan bahwa memang beda yang besar antara gugus etil dan metil dalam mempengaruhi lajur reaksi.
Dalam cara serupa, laju relatif anekaragaman reaksi SN 2 dari alkil halida telah ditetapkan. Tabel menunjukan laju relatif rata-rata (dibandingkan etil halida) dari reaksi SN 2 sejumlah alkil halida.
Tabel Laju relatif rata-rata beberapa alkil halida dalam reaksi SN2 yang lazim
Alkil halida laju relatif
CH3X 30
CH3 CH2X 1
CH3 CH2 CH2X 0,4
CH3 CH2 CH2 CH2X 0,4
(CH3)2 CHX 0,025
(CH3)3 Cx ~ 0
2.2.4.5 Rintangan Sterik Dalam Reaksi (kimia organik & www.chem-is-try.org.com)
Jika subtrat R-L bereaksi melalui mekanisme SN2, reaksi terjadi lebih cepat apabila R merupakan ugus metal atau gugus primer, dan lambat jika R adalah gugus tersier. Gugus R sekunder mempunyai kecepatan pertengahan. Alasan untuk urutan reaktivitas ini jelas jika kita menggambarkan mekanisme SN2 . di bagian belakang karbon, tempat pergantian terjadi, keadaanya akan semakin berdesakan apabila gugus alkil yang melekat pada karbon yang membawa gugus pergi semakin banyak, sehingga reaksinya semakin lambat.
Nu C X SN2 cepat Nu C X SN2 lambat
Halida primer
(bagian belakang tak berdesakan)
Halida tersier
(bagian belakang berdesakan )
Ringkasannya, mekanisme SN2 adalah proses atau tahap, yang terjadi jika alkyl halide berupa metil > primer >sekunder >>tersier. Mekanisme ini terjadi dengan pembalikan konfigurasi, dan kecepatannya bergantung pada konsentrasi-konsentrasi nukleofil dan substrat. Jejalan ruang dalam struktur-struktur disebut rintangan sterik.
2.2.5 Reaksi SN 1 (FESSENDEN)
Karena rintangan sterik, t-butil bromida dan alkil halida tersier lain bereaksi seacra SN2. Namun, bila t-butil bromida direaksikan dengan suatu nekleofil yang berupa basa yang sangat lemah (seperti H2O atau CH3 CH2 OH), terbentuknya produk subtitusi, bersamasama dengan produk eliminasi. Karena H2O atau CH3 CH2 OH juga digunakan sebagai pelarut, tipe reaksi subtitusi ini kadang-kadang disebut reaksi sobvolis (solvent dan –lylsis penguraian oleh pelarut).
(CH3)3COCH2CH3 + CH2 = C(CH3)2
t- butil etil eter metilpropena
(CH3)3CBr (80%) (20%)
(CH3)3COH + CH2 = C(CH3)2
t-butil alkohol metilpropena
(70%) (30%)
Jika alklil halida tersier tak dapat reaksi secara SN 2, bagimana produk subtitusi itu terbentuk? Ternyata alkil halida terrsier mengalami subtitusi dengan mekanisme yang berlainan, yang disebut reaksi SN 1(subtitusi, nukleofilik, unimolekuler). Hasil eksperimen yang diperoleh dalam reaksi SN 1 cukup berbeda dari hasil reaksi SN 2. Secara khas,jika suatu enantiomer murni (dari) suatu alkil halida yang mengandung karbon C-X yang kiral, mengalami suatu reaksi SN 1, maka akan diperoleh produk subtitusi rasemik (bukan pruduk inversi seperti yang diperoleh seperti yang diperoleh dalam reaksi SN 2). Juga disimpulkan pada umumnya pengaruh konsentrasi nukleolfil pada laju keseluruhan reaksi
SN 1 sangat kecil (kontras dengan reaksi SN 2, di mana laju berbanding lurus dengan konsentrasi nukleolfil). Untuk menerangkan hasil eksperimen ini, akan dibahas mekanisme reaksi SN 1 dengan menggunakan t-butil bromida dan air. Untuk sementara produk eliminasi diabaikan dulu.
sebagai ion hidronium, H20-
(CH3 )3 CBr + H2O (CH3)3 COH + H+ + Br-
t-butil bromida t-buti alkohol
2.2.5.1Mekanisme SN1(FESSENDEN & WWW>CHEM-IS-TRY.ORG.COM)
Reaksi SN1 adalah reaksi ion. Mekanismenya kompleks karena adanya antara molekul pelarut, molekul RX, dan ion-ion antara yang terbentuk.
Reaksi SN1 antara suatu alkil halida tersier adalah reaksi bertahap (stepwise reaction). Tahap pertama berupa pematahan alkil halida menjadi sepasang ion: ion halida dan suatu karbokation, suatu ion dalam mana atom karbon mengemban suatu muatan positif. Karena reaksi SN1 melibatkan ionisasi, reaksi-reaksi ini dibantu oleh pelarut polar, seperti H20, yang dapat menstabilkan ion dengan cara solvasi(solvation)
Tahap 1:
(CH3)3C Br (CH3)3 C--- Br (CH3)3C+ + Br
keadaan transisi 1 zat-antara, karbokation
tak stabil
Tahap 2 adalah penggabungan karbokation itu dengan nukleofil (H2O) menghasilkan produk awal, suatu alkohol berproton(protonated).
Tahap 2:
Tahap terakhir dalam deret ini adalah lepasnya H+ dari dalam alkohol berproton tadi, dalam suatu asam-basa yang cepat dan reversibel, dengan pelarut.
Tahap 3:
Jadi reaksi keseluruhan t-butil bromida dengan air sebenarnya terdiri dari dua reaksi yang terpisah: reaksi SN1(ionisasi yang diikuti oleh kombinasi dengan nukleofil) dan suatu reaksi asam-basa. Tahap-tahap itu dapat diringkaskan sebagai berikut:
Gambar Diagram energi untuk suatu reaksi SN1 yang lazim
Perhatikan diagram energi untuk suatu reaksi SN1. Tahap 1 (ionisasi) secara khas mempunyai Eakt tinggi; inilah tahap lambat dalam proses keseluruhan. Harus tersedia cukup energi agar alkil halida tersier mematahkan ikatan sigma C-X dan menghasilkan karbokation serta ion halida.
2.2.5.2 Laju Suatu Reaksi SN1 (FESSENDEN)
Telah disebut di atas bahwa laju reaksi khas SN1 tidak bergantung pada konsentrasi nukleofil, tetapi hanya bergantung pada konsentrasi alkil halida.
Laju SN1 = k [RX]
Ini disebabkan oleh sangat cepatnya reaksi antara R+ dan Nu:- tetapi konsentrasi R+ sangat kecil. Kombinasi cepat antara R+ dan Nu:- hanya terjadi bila karbokation itu terbentuk. Oleh karena itu laju keseluruhan reaksi ditentukan seluruhnya oleh cepatnya RX berionisasi dan membentuk karbokation R+. Tahap ionisasi ini (Tahap 1 dalam reaksi keseluruhan) disebut tahap penentu-laju (rate-determining) atau tahap pembatas-laju (rate-limiting). Dalam reaksi bertahap apa saja, tahap paling lambat dalam deret keseluruhan adalah menentukan laju.
Suatu reaksi SN1 bersifat order pertama (first order) dalam laju karena laju itu berbanding lurus dengan hanya konsentrasi satu pereaksi (RX). Reaksi ini adalah reaksi uni-molekular karena hanya satu partikel (RX) yang terlibat dalam keadaan transisi tahap penentu-laju (angka “1” dalam SN1 merujuk ke unimolekular).
Tahap penentu-laju:
2.2.5.3 Reaktivitas Relatif Dalam Reaksi SN1(FESSENDEN)
Mendaftar laju relatif reaksi beberapa alkil bromidia pada kondisi SN1 yang lazim (solvolis dalam air). Perhatikan bahwa alkil halida mengalami substitusi 11,6-kali Lebih cepat daripada suatu alkil halide primer pada kondisi ini, sedangkan suatu alkil halide tersier bereaksi sejuta kali lebih cepat daripada suatu halide primer!
Tabel 5.3 Laju relative alkil bromide pada kondisi SN1 yang lazim.
CH3Br 1,00a
CH3CH2Br 1,00a
(CH3)2CHBr 11,6
(CH3)3CBr 1,2 x 106
aReaksi yang teramati dari metil bromida dan alkil primer agaknya terjadi dengan mekanisme yang berbeda (SN2, bukan SN1).
Metil:
CH3Br + H2O ----------------------->. CH3OH + Br- + H+
Primer :
CH3CH2Br + H2O ----------------------->. CH3CH2OH + Br- + H+
Sekunder:
(CH3)2CHBr + H2O -----------------------> (CH3)2CHOH + Br- + H+
Terseir:
(CH3)CBr + H2O -----------------------> (CH3)3COH + Br- + H+
Laju reaksi Sn1 dari pelbagai alkil halide bergantung pada energy pengaktifan relative yang mengakibatkan terbentuknya karbokation yang berlainan. Dalam reaksi ini, energy keadaan transisi yang akan menghasilkan karbokation itu sebagian besar ditentukan oleh kestabilan karbokation itu, yang telah setengah terbentuk dalam keadaan transisi. Dikatakan bahwa keaadaan transisi itu mempunyai karakter karbokation. Oleh karena itu reaksi yangmenghasilkan karbokation berenergi rendah dan stabil, akan berjalan dengan laju yang tinggi. Alkil halide tersier menghasilkan suatu karbokation yang lebih stabil aripada karbokation yang berasal dari suatu metil halida atau alkil halida primer, jadi reaksi ini mempunyai laju yang tinggi.
2.2.6 Ringkasan Mekanisme SN1 Dan SN2 (FESSENDEN)
Mekanisme SN1 kinetik order pertama
CH3 CH3
1. CH3 – C – CH3 CH3 – C – CH3 + Br - (lambat)
Br CH3
CH3 CH3
2. CH3 – C – CH3 + OH- CH3 – C – CH3 + Br- (cepat)
Br OH
Laju=k R Br
Mekanisme SN2 kinetik orde kedua
CH3Br + OH- CH3OH + Br –
Kecepatan k [CH3Br] [OH -]
2.2.7 Reaksi E1(FESSENDEN)
Suatu karbo kation adalah suatu zat antara yang tak stabil dan berenergi tinggi, yang dengan segera bereaksi lebih lanjut. Salah satu cara karbiokation mencapai produk yang stabil ialah dengan bereaksi dengan sebuah nukleofil. Tentu saja ini ialah reaksi reaksi SN1. Namun terdapat suatu alternatif: karbokation itu dapat memberikan sebuah proton kepada suatu basa dalam suatu reaksi eleminasi, dalam hal ini reaksi E1, menjadi sebuah alkena.
X +
(1) -C-C- X- + -C-C- slow
H H
+
(2) C C C C + H:B fast
H
: B
Tahap pertama dalam reaksi E1 identik dengan tahap pertama reaksi SN1: ionisasi alkil halida. Tahap ini adalah tahap lambat, jadi tahap penentu laju, dari reaksi keseluruhan. Seperti reaksi SN1, suatu reaksi E1 yang khas menunjukan kinetika order-pertama, dengan laju reaksi bergantung hanya pada konsentrasi alkil halida saja. Karena hanya melibatkan pereaksi dalam keadaan transisi (dari) tahap penentu laju, reaksi E1 adalah unimolekul seperti rewaksi SN1.
Dalam tahap ke dua reaksi eliminasi, basa itu merebut sebuah proton dari sebuah atom karbon yang terletak berdampingan dengan karbon positif. Elektron ikatan sigma karbon hidrogen ini bergeser ke arah muatan positif, karbon itu mengalami rehibridasi ke keadaan sp2, dan terbentuklah sebuah alkena.
Karena suatu reaksi E1, seperti reaksi SN1, berlangsung lewat-zat antara karbokation, maka tak mengherankan bahwa alkil halida tersier bereaksi lebih cepat dari pada alkil halida lain. Reaksi E1 (dari) alkil halida berlangsung pada kondisi yang sama seperti reaksi SN1(pelarut polar, basa sangat lemah, dan sebagainya); oleh karena itu reaksi SN1 dan E1 adalah reaksi bersaingan. Pada kondisi ringan yang diminta untuk reaksi-reaksi karbonkation untuk alkil halida ini, produk SN1 biasanya menang di bandingkan produk E1. Dari segi ini reaksi E1 alkil halida di anggap relatif tidak penting.
2.2.8 Reaksi E2 (FESSENDEN)
Reaksi eliminasi alkil halida yang paling berguna ialah reaksi E2 (eliminasi bimolekular) Reaksi E2 alkil halida cenderung dominan bila digunakan basa kuat, seperti –OH dan -OR, dan temperatur tinggi. Secara khas reaksi E2 dilaksanakan dengan memanaskan alkil halida dengan K+-OH atau Na+- OCH2CH3 dalam etanol.
Reaksi E2 berjalan tidak lewat suatu karbokation sebagai zat antara, melainkan berupa reaksi serempak (concerted reaction) yakni terjadi pada satu tahap, sama seperti reaksi SN2
Br
. 1 2 3
H : B + H-CH2-CHCH3 H:B + CH2 CHCH3 + Br -
(Morrison fourth edition)
Persamaan di atas menunjukan mekanisme, dengan anak panah bengkok menyatakan “pendorongan-elektron” (electron-pushing). Struktur keadaan-transisi dalam reaksi satu-tahap adalah:
RO
H
CH2 CHCH3
Br
Keadaan transisi E2
Dalam reaksi E2, seperti dalam reaksi E1, alkil halida tersier bereaksi paling cepat dan alkil halida primer paling lambat. (bila diolah dalam satu basa, alkil halida primer biasanya begitu mudah bereaksi subtitusi, sehingga hanya sedikit alkena yang terbentuk).
Primer Sekunder Tersier
Substrat produtc relative rates Relative rates per H
CH3CH2Br CH2 CH2 1.0 1.0
CH3CH2CH2Br CH3CH CH2 3.3 5.0
CH3CHBrCH3 CH3CH CH2 9.4 4.7
(CH3)CBr (CH3)2C CH2 120 40
(morison fourth edition)
2.2.9 Rangkuman E1 dan E2
Mekanisme E2 eliminasi bimolekuler
X
(2) C C X- + C C + H:B
H
: B
Mekanisme E1 eliminasi unimolekuler
X +
(1) -C-C- X- + -C-C- perlahan
H H
+
(2) C C C C + H:B cepat
H
: B
DAFTAR PUSTAKA
1. Fessenden, Ralp J.,Fessenden, Joan S., Kimia Organik 1., Edisi Ketiga, Erlangga 1982.
2. Morrison And Boyd., Organic Chemistry., Fourth Edition .,New York University 1983.
3. www.Wikipedia.com
4. www.chem-is-try.org.com
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Senyawa halogen sangat penting karena berbagai sebab. Alkil dan aril halida sederhana, terutama klorida dan bromida, adalah cikal bakal sintesis kimia organik. Melalui reaksi subtitusi, yang akan di paparkan dalam bab ini, halogen dapat digantikan dengan gugus fungsi lain. Halida-halida organik juga dapat dirubah menjadi senyawa-senyawa jenuh eliminasi. Akhirnya, banyak senyawa-senyawa organik mempunyai kegunaan praktis, sebagai ansektisida, herbisida, pencegah api, cairan pembersih dan refrigeran, dan sebagainya. Dalam bab ini akan dibahas semua segi mengenai senyawa-senyawa halogen.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca dan penulis dapat menambah wawasan dan pemahaman tentang reaksi subtitusi nukleofilik (SN1 dan SN2) dan eliminasi (E1 dan E2).
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup yang menjadi topik makalah ini adalah perbedaan antara reaksi SN1, SN2, E1 dan E2 baik ditinjau dari sudut mekanisme reaksi, sterokimia reaksi energi dalam reaksi yang bersangkutan, laju reaksi dan sebagainya.
1.4 Dasar Teori
Suatu reaksi subtitusi (SN1danSN2) maupun eliminasi (E1dan E2) dapat diidentifikasi dengan berbagai macam cara diantaranya melalui mekanisme reaksi, sterokimia, dan sebagainya
Sebagai contoh perbedaan rekasi subtitusi (SN1danSN2) dilihat dari struktur halida pada reaksi SN2 struktur halida bentuk tersier terjadi lambat sedangkan pada SN1 dapat terjadi dengan cepat karena pada SN2 di bagian belakang karbon , tempat pergantian terjadi, keadaanya akan semakin berdesakan apabila gugus alkil yang melekat pada karbon yang membawa gugus pergi semakin banyak, sehingga reaksinya menjadi lambat, alasan untuk reaktivitas ini lebih jelas bila kita menggambarkan mekanismenya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2.1 Reaksi Subtitusi (FESSENDEN)
Atom karbon ujung suatu alkil halida mempunyai muatan positif parsial. Karbon ini rentetan terhadap (susceptible; mudah diserang oleh)serangan oleh anion dan spesi lain apa saja yang mempunyai spesi lain apa saja yang mempunyai sepasang elektron menyendiri (unshered) dalam kulit luarnya. Dihasilkan reaksi subtitusi – suatu reaksi dalam nama satu atom,ion atau gugusan disubtitusikan untuk (menggantikan) atom,ion atau gugus lain.
elektron ikatan - o
pergi bersama halogen
δ+ δ-
HO + CH3CH2 Br CH3CH2 OH + Br -
ion hidroksida bromoetana etanol
Dalam reaksi subtitusi akil halida itu disebut gugus pergi (leaving group) suatu istilah yang berarti gugus apa saja yang dapat digeser dari ikatannya dengan suatu atom karbon. Ion halida merupakan gugus pergi yang baik, karna ion-ion ini merupakan basa yang sangat lemah. Basa kuat seperti misalnya OH-, bukan gugus pergi yang baik.dalam reaksi subtitusi halida,ion iodida adalah halida yang paling mudah digantikan, baru ion bromida dan kemudian klorida. Karena F- merupakan basa yang kuat daripada ion halida yang lain, dan arena ikatan C-F lebih kuat daripada ikatan C-X lain.
RF RCl RBr RI
naiknya reaktifitas
Spesi (species) yang menyerang suatu alkil halida dalam suatu reaksi subtitusi disebut nukleofil, sering dilambangkan dengan Nu-. Dalam persamaan reaksi diatas, OH- dan CH3 O- adalah nukleofil. Umumnya,sebuh nukleofil ialah spesi apa saja yang tertarik ke suatu pusat positif; jadi sebuah nukleofil ialah suatu basa lewis. Kebanyakan nukleofil adalah anion; namun,beberapa molekul polar yang netral, seperti H2O,CH3OH dan CH3 NH2 dapat juga bertindak sebagai nukleofil.Molekul netral ini memiliki pasangan elektro menyendiri,yang dapat digunakan untuk membentuk ikatan sigma.Substitusi oleh nukleofil disebut substitusi nukleofil atau pergantian nukleofil (nucleophilic displacement ).
2.2.2 Reaksi Eliminasi (FESSENDEN)
Bila suatu alkil halida diolah dengan suatu basa kuat,dapat terjadi suatu reaksi eliminasi. Dalam reaksi ini sebuah molekul kehilangan atom-atom atau ion-ion dari dalam strukturnya.Produk organik suatu reaksi eliminasi suatu alkil halida adalah suatu alkena.Dalam tipe reaksi eliminasi ini,unsur H dan X keluar dari dalam alkil halida;oleh karena itu reaksi ini juga disebut reaksi dehidrohalogenasi.( Awalan de- berarti “minus” atau “hilangnya”).
Br H
CH3CH - CH2 + OH CH3CH = CH2 + H2O + Br -
2- bromopropana propena
(isopropyl bromide) (propilena)
2.2.3 Nukleofilisitas Lawan Kebasaan (FESSENDEN)
Semua basa dapat bertindak sebagai nukleofil. Sebaliknya, semua nukleofil dapat bertindak sebagai basa. Dalam masa-masa kasus,pereaksi (reagent) bereaaksi dengan cara menyumbangkan sepasang elektronnya untuk membentuk suatu ikatan sigma baru.
Kebasaan ialah ukuran kemampuan pereaksi untuk menerima sebuah proton dalam suatu reaksi asam-basa. Oleh karena itu kuat basa relatif dari sederet pereaksi ditentukan dengan membandingkan letak relatif kesetimbangan mereka dalam suatu reaksi asam,-basa,seperti misalnya derajat ionisasi air.
basa kuat
I - Br - Cl - ROH H2O - C ≡ N - OH - OR
Naiknya kebasaan
kontras dengan kebasaan, nukleofisilitas ialah ukuran kemampuan suatu pereaksi untuk menyebabkan (terjadinya) suatu reaksi subtitusi. Nukleofilisitas relatif dari sederet.
CH3CH2 - Br + OH CH3CH2 - OH + Br
H2O ROH Cl - Br - OH - OR I - - C ≡ N
naiknya nukleofilisitas
Data daftar nukleofilisitas relativetidak paaralel secara eksak denaan daftar kuat basa ; suatu basa lebih kuat biasanya juga nukleofili yang lebih baik dari suatu basa lebih lemah.misalnya, OH -(suatu basa kuat) adalah nukleofilik yang lebih baik dari pada atau H2O (basa lemah). Karena beberapa alkil halida dapat menjalani reaksi subtitusi dan eliminasi.pereaksi seperti OH- dpat bertindak baik sebagai nukleofil dalam suau bejana reaksi.
( CH3)2CHBr + -OH H2O (CH3)2CHOH + CH2 = CHCH3
terbentuk oleh – OH terbentuk oleh -OH
yang bertindak yang bertindak sebagai
sebagai nukleofil basa
2.2.4 REAKSI SN2 (FESSENDEN)
Bromoetana dengan ion hidroksida yang menghasilkan etanol dan ion bromida adalah suatu reaksi SN2 yang khas (SN2 berarti “ subtitusi,nukleofilik,bimolekuler ).
Metil halida dan alkil halida primer apa saja,bereaksi Sn2 dengan nukleofilik yang agak kuat;-OH,-CN dan lain-lain yang belum disebut. Metil halida dan akil halida primer juga bereaksi dengan nukleofil lemah, seperti H2O, tetapi reaksi –reaksi ini terlalu lambat tak sehingga tak bermanfaat.Alkil halida sekunder dapat bereaksi Sn2; tetap alkil halida tersier tidak.
2.2.4.1 Mekanisme Reaksi SN2 (FESSENDEN)
Pemerian terinci mengenai bagaimana reaksi berlangsung disebut mekanisme reaksi. Suatu mekanisme reaksi harus bisa menjelaskan semua fakta yang diketahui banyak fakta dan untuk mekanisme-mekanisme reaksi tertentu telah disepakati oleh pakar kimia. Sementara itu mekanisme reaksi-reaksi lain masih sangat bersifat dugaan (speculative).
Agar bereaksi pertama-tama molekul-molekul itu harus saling bertabrakan. Kebanyakan tabrakan antar molekul itu tidak mengakibatkan suatu reaksi; molekul-molekul itu hanyalah terpental kembali. Agar bereaksi, molekul-molekul yang bertabrakan itu harus mengandung energi potensial agar terjadi pematahan ikatan. Juga sikap (orientasi) molekul-molekul itu, satu terhadap yang lain, sering merupakan faktor penting dalam menentukan apakah suatu reaksi akan terjadi. Terutama untuk suatu reaksi SN2 hal ini memang benar.
2.2.4.2 Stereokimia reaksi SN2 (FESSENDEN dan WWW.CHEM-IS-TRY.ORG.COM)
Dalam reaksi SN2 antara bromoetana dan ion hidroksida, oksigen dari ion hidroksida menabrak bagian belakang karbon ujung dan menggantikan ion bromida:
Reaksi SN2 keseluruhan :
H CH3 H3C H
HO - - - C Br - - HO C + Br -
H H
serangan dari belakang
Bila sebuah nukleofil menabrak sisi belakang suatu atom karbon tetrahedral yang terikat pada sebuah halogen, dua peristiwa terjadi sekaligus: (1) suatu ikatan baru mulai terbentuk, dan (2) ikatan C – X mulai patah. Proses ini disebut proses setahap atau proses serempak (concerted). Jika energi potensial kedua spesi yang bertabrakan cukup tinggi, tercapai suatu titik dimana, dilihat dari segi energi, pembentukan ikatan baru dan pematahan ikatan C – X lama dimudahkan. Ketika pereaksi diubah menjadi produk, mereka harus melewati suatu keadaan-antara, yang memiliki potensial tinggi, dibandingkan dengan energi pereaksi atau produk. Keadaan-antara ini disebut keadaan transisi (transition state) atau kompleks terreaktifkan (activated complex). Karena keadaan transisi melibatkan dua partikel (Nu- dan RX), maka reaksi SN2 dikatakan bersifat bimolekuler (bimolecular angka “2” dalam SN2 menyatakan bimolekuler).
ikatan parsial
H CH3
H CH3 H3C H
HO- + C Br HO - - - C - - - Br OH C +Br -
H H H
Pereaksi keadaan transisi produksi
energy potensial tinggi
mampu kembali kepereaksi
atau terus keproduk
Suatu keadaan transisi dalam reaksi apa saja adalah penataan berenergi-tinggi dan kilas (dari) pereaksi ketika berubah menjadi produk. Suatu keadaan transisi tak dapat isolasi dan disimpan dibotol. Keadaan transisi hanyalah suatu pemerian dari “ dalam keadaan berubah.” Akan sering digunakan tanda kurung siku dalam persamaan reaksi, untuk menunjukan struktur sementara yang tidak dapat diisolasi, dalam reaksi itu disini tanda kurung siku digunakan terhadap struktur suatu keadaan transisi. Kelak tanda ruang ini kadang-kadang digunakan untuk menyatakan produk-produk tak setabil, yang bereaksi lebih lanjut.
H CH3 H CH3
---- C---- atau C
H karbon sp2 H
Ketika nukleofil menyerang dari arah belakang molekul (dilihat dari atom halogen), ketiga gugus yang terikat pada karbon berubah posisi menjadi rata dalam keadaan transisi, kemudian membalik kesisi lain, sangat mirip dengan payung yang kelewatan terbukannya (model molekul akan sangat bermanfaat untuk menghayati proses ini). Peristiwa membalik ini disebut inversi konfigurasi atau inversi Walden.
Adannya inverse sebagai bagian mekanisme suatu reaksi SN2 diperagakan dengan indahnya, oleh reaksi enantiomer murni dari alkil halide sekunder kita. Misalnya, reaksi SN2 dari (R) – 2- bromooktana dengan –OH menghasilkan (S)-2-oktanol secara hampir ekslusif.
H CH2 (CH2)4CH3 CH2 (CH2)4CH3
HO + C Br SN2 HO C H + Br
CH3 CH3
(R)-2-bromooktana (S)-2oktanol
96% inversi
Kebanyakan reaksi yang melibatkan molekul kiral dilaksanakan dengan campuran rasemik, yakni campuran ekuimolar reaktan (R) dan (S), dalam hal-hal ini produk juga berupa campuran rasemik. Meskipun terjadi juga inversi, efek ini tak dapat diamati karena separuh molekul-molekul menuju kesatu arah dan separuh lainnya menuju kearah yang berlawanan.
(R)-RX + (S)-RX OHSN2 (S)-ROH + (R)-ROH
Rasemik Rasemik
2.2.4.3 Laju reaksi SN2 (FESSENDEN)
Tiap molekul yang bereaksi dan menghasilkan produk harus melewati keadaan transisi, baik strukturnya maupun energinya. Karena energi molekul-molekul tidak sama, maka diperlukan waktu agar semua molekul itu bereaksi. Persaratan waktu ini menimbulkan pengertian dan besaran yang disebut laju reaksi ( rate of reaction). Laju reaksi kimia ialah ukuran berapa cepat reaksi itu berlangsung; yakni berapa cepat pereaksi itu habis dan produk terbentuk. Kinetika reaksi mempelajari dan mengukur laju-laju reaksi.
Laju reaksi bergantung pada banyak variabel beberapa diantaranya dapat dibuat konstan untuk suatu eksperimen tertentu (misalnya temperatur dan pelarut). Dalam bab ini dua variabel yang terutama diperhatikan ialah : (1) Konsetrasi pereaksi, dan (2) struktur pereaksi.
Menambah konsentrasi pereaksi yang mengalami reaksi SN2, akan menambah laju terbentuknya produk, karena akan menambah seringnya tabrakan antara molekul-molekul. Lazimnya laju reaksi SN2 berbanding lurus dengan konsentrasi-konsentrasi kedua pereaksi. Jika semua variabel lainnya dibuat konstan dan konsentrasi alkil halida atau konsentrasi nukleofil dilipat-dua kali, maka laju pembentukan produk juga berlipat dua. Jika salah satu konsentrasi dilipat-tiga kan, laju juga akan berlipat tiga.
Nu:- + RX RNu + X -
Laju SN2 = k [RX] [Nu:-]
Karena laju suatu reaksi SN2 bergantung pada konsentrasi dari dua partikel (RX dan Nu:-), maka laju itu dikatana order kedua (second order). Reaksi SN2 dikatakan mengikuti kinetika order-kedua. (Meskipun reaksi SN2 juga bimolekular, tidak setiap reaksi bimolekular, tidak setiap reaksi bimolekular adalah dari order-kedua dan tidak tiap reaksi order-kedua adalah bimolekular.
2.2.4.4 Pengaruh Struktur Pada Laju (FESSENDEN)
Kinetika reaksi memberikan suatu cara yang berharga untuk memeriksa efek-efek struktur terhadap reaktivitas. Perhatikan dua reaksi tersebut:
. OH- + CH3 Br. CH3OH + Br-
bromometana metanol
suatu metil halida
OH- +CH3 CH2Br CH3CH2OH + Br-
bromoetana etanol
suatu alkil bromida primer
Keduanya reaksi SN 2 dan keduanya menghasilakan alkohol. Kedua reaksi itu hanya berbeda dalam bagian alkil dari alkil halida. Perbedaan dalam gugus alkil ini mempengaruhi laju reaksi SN 2 atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini, laju kedua reaksi itu diukur pada kondisi reaksi yang sama (pelarut, konsentrasi dan temperatur sama). Kemudian atau kedua tetapan laju (k1 dan k2 ) ditetapkan atau, lebih lazim laju relatif ditetapkan. OH- + CH3 Br
Dalam suatu studi dijumpai bahwa bromometana bereaksi 30X lebih cepat daripada bromoetana. (jika reaksi bromoetana perlu satu jam untuk selesai separuh, maka reaksi bromometana hanya memerlukan 1/30 kalinya, atau 2 menit, untuk menyelesaikan separuh reaksi. Dapat disimpulkan bahwa memang beda yang besar antara gugus etil dan metil dalam mempengaruhi lajur reaksi.
Dalam cara serupa, laju relatif anekaragaman reaksi SN 2 dari alkil halida telah ditetapkan. Tabel menunjukan laju relatif rata-rata (dibandingkan etil halida) dari reaksi SN 2 sejumlah alkil halida.
Tabel Laju relatif rata-rata beberapa alkil halida dalam reaksi SN2 yang lazim
Alkil halida laju relatif
CH3X 30
CH3 CH2X 1
CH3 CH2 CH2X 0,4
CH3 CH2 CH2 CH2X 0,4
(CH3)2 CHX 0,025
(CH3)3 Cx ~ 0
2.2.4.5 Rintangan Sterik Dalam Reaksi (kimia organik & www.chem-is-try.org.com)
Jika subtrat R-L bereaksi melalui mekanisme SN2, reaksi terjadi lebih cepat apabila R merupakan ugus metal atau gugus primer, dan lambat jika R adalah gugus tersier. Gugus R sekunder mempunyai kecepatan pertengahan. Alasan untuk urutan reaktivitas ini jelas jika kita menggambarkan mekanisme SN2 . di bagian belakang karbon, tempat pergantian terjadi, keadaanya akan semakin berdesakan apabila gugus alkil yang melekat pada karbon yang membawa gugus pergi semakin banyak, sehingga reaksinya semakin lambat.
Nu C X SN2 cepat Nu C X SN2 lambat
Halida primer
(bagian belakang tak berdesakan)
Halida tersier
(bagian belakang berdesakan )
Ringkasannya, mekanisme SN2 adalah proses atau tahap, yang terjadi jika alkyl halide berupa metil > primer >sekunder >>tersier. Mekanisme ini terjadi dengan pembalikan konfigurasi, dan kecepatannya bergantung pada konsentrasi-konsentrasi nukleofil dan substrat. Jejalan ruang dalam struktur-struktur disebut rintangan sterik.
2.2.5 Reaksi SN 1 (FESSENDEN)
Karena rintangan sterik, t-butil bromida dan alkil halida tersier lain bereaksi seacra SN2. Namun, bila t-butil bromida direaksikan dengan suatu nekleofil yang berupa basa yang sangat lemah (seperti H2O atau CH3 CH2 OH), terbentuknya produk subtitusi, bersamasama dengan produk eliminasi. Karena H2O atau CH3 CH2 OH juga digunakan sebagai pelarut, tipe reaksi subtitusi ini kadang-kadang disebut reaksi sobvolis (solvent dan –lylsis penguraian oleh pelarut).
(CH3)3COCH2CH3 + CH2 = C(CH3)2
t- butil etil eter metilpropena
(CH3)3CBr (80%) (20%)
(CH3)3COH + CH2 = C(CH3)2
t-butil alkohol metilpropena
(70%) (30%)
Jika alklil halida tersier tak dapat reaksi secara SN 2, bagimana produk subtitusi itu terbentuk? Ternyata alkil halida terrsier mengalami subtitusi dengan mekanisme yang berlainan, yang disebut reaksi SN 1(subtitusi, nukleofilik, unimolekuler). Hasil eksperimen yang diperoleh dalam reaksi SN 1 cukup berbeda dari hasil reaksi SN 2. Secara khas,jika suatu enantiomer murni (dari) suatu alkil halida yang mengandung karbon C-X yang kiral, mengalami suatu reaksi SN 1, maka akan diperoleh produk subtitusi rasemik (bukan pruduk inversi seperti yang diperoleh seperti yang diperoleh dalam reaksi SN 2). Juga disimpulkan pada umumnya pengaruh konsentrasi nukleolfil pada laju keseluruhan reaksi
SN 1 sangat kecil (kontras dengan reaksi SN 2, di mana laju berbanding lurus dengan konsentrasi nukleolfil). Untuk menerangkan hasil eksperimen ini, akan dibahas mekanisme reaksi SN 1 dengan menggunakan t-butil bromida dan air. Untuk sementara produk eliminasi diabaikan dulu.
sebagai ion hidronium, H20-
(CH3 )3 CBr + H2O (CH3)3 COH + H+ + Br-
t-butil bromida t-buti alkohol
2.2.5.1Mekanisme SN1(FESSENDEN & WWW>CHEM-IS-TRY.ORG.COM)
Reaksi SN1 adalah reaksi ion. Mekanismenya kompleks karena adanya antara molekul pelarut, molekul RX, dan ion-ion antara yang terbentuk.
Reaksi SN1 antara suatu alkil halida tersier adalah reaksi bertahap (stepwise reaction). Tahap pertama berupa pematahan alkil halida menjadi sepasang ion: ion halida dan suatu karbokation, suatu ion dalam mana atom karbon mengemban suatu muatan positif. Karena reaksi SN1 melibatkan ionisasi, reaksi-reaksi ini dibantu oleh pelarut polar, seperti H20, yang dapat menstabilkan ion dengan cara solvasi(solvation)
Tahap 1:
(CH3)3C Br (CH3)3 C--- Br (CH3)3C+ + Br
keadaan transisi 1 zat-antara, karbokation
tak stabil
Tahap 2 adalah penggabungan karbokation itu dengan nukleofil (H2O) menghasilkan produk awal, suatu alkohol berproton(protonated).
Tahap 2:
Tahap terakhir dalam deret ini adalah lepasnya H+ dari dalam alkohol berproton tadi, dalam suatu asam-basa yang cepat dan reversibel, dengan pelarut.
Tahap 3:
Jadi reaksi keseluruhan t-butil bromida dengan air sebenarnya terdiri dari dua reaksi yang terpisah: reaksi SN1(ionisasi yang diikuti oleh kombinasi dengan nukleofil) dan suatu reaksi asam-basa. Tahap-tahap itu dapat diringkaskan sebagai berikut:
Gambar Diagram energi untuk suatu reaksi SN1 yang lazim
Perhatikan diagram energi untuk suatu reaksi SN1. Tahap 1 (ionisasi) secara khas mempunyai Eakt tinggi; inilah tahap lambat dalam proses keseluruhan. Harus tersedia cukup energi agar alkil halida tersier mematahkan ikatan sigma C-X dan menghasilkan karbokation serta ion halida.
2.2.5.2 Laju Suatu Reaksi SN1 (FESSENDEN)
Telah disebut di atas bahwa laju reaksi khas SN1 tidak bergantung pada konsentrasi nukleofil, tetapi hanya bergantung pada konsentrasi alkil halida.
Laju SN1 = k [RX]
Ini disebabkan oleh sangat cepatnya reaksi antara R+ dan Nu:- tetapi konsentrasi R+ sangat kecil. Kombinasi cepat antara R+ dan Nu:- hanya terjadi bila karbokation itu terbentuk. Oleh karena itu laju keseluruhan reaksi ditentukan seluruhnya oleh cepatnya RX berionisasi dan membentuk karbokation R+. Tahap ionisasi ini (Tahap 1 dalam reaksi keseluruhan) disebut tahap penentu-laju (rate-determining) atau tahap pembatas-laju (rate-limiting). Dalam reaksi bertahap apa saja, tahap paling lambat dalam deret keseluruhan adalah menentukan laju.
Suatu reaksi SN1 bersifat order pertama (first order) dalam laju karena laju itu berbanding lurus dengan hanya konsentrasi satu pereaksi (RX). Reaksi ini adalah reaksi uni-molekular karena hanya satu partikel (RX) yang terlibat dalam keadaan transisi tahap penentu-laju (angka “1” dalam SN1 merujuk ke unimolekular).
Tahap penentu-laju:
2.2.5.3 Reaktivitas Relatif Dalam Reaksi SN1(FESSENDEN)
Mendaftar laju relatif reaksi beberapa alkil bromidia pada kondisi SN1 yang lazim (solvolis dalam air). Perhatikan bahwa alkil halida mengalami substitusi 11,6-kali Lebih cepat daripada suatu alkil halide primer pada kondisi ini, sedangkan suatu alkil halide tersier bereaksi sejuta kali lebih cepat daripada suatu halide primer!
Tabel 5.3 Laju relative alkil bromide pada kondisi SN1 yang lazim.
CH3Br 1,00a
CH3CH2Br 1,00a
(CH3)2CHBr 11,6
(CH3)3CBr 1,2 x 106
aReaksi yang teramati dari metil bromida dan alkil primer agaknya terjadi dengan mekanisme yang berbeda (SN2, bukan SN1).
Metil:
CH3Br + H2O ----------------------->. CH3OH + Br- + H+
Primer :
CH3CH2Br + H2O ----------------------->. CH3CH2OH + Br- + H+
Sekunder:
(CH3)2CHBr + H2O -----------------------> (CH3)2CHOH + Br- + H+
Terseir:
(CH3)CBr + H2O -----------------------> (CH3)3COH + Br- + H+
Laju reaksi Sn1 dari pelbagai alkil halide bergantung pada energy pengaktifan relative yang mengakibatkan terbentuknya karbokation yang berlainan. Dalam reaksi ini, energy keadaan transisi yang akan menghasilkan karbokation itu sebagian besar ditentukan oleh kestabilan karbokation itu, yang telah setengah terbentuk dalam keadaan transisi. Dikatakan bahwa keaadaan transisi itu mempunyai karakter karbokation. Oleh karena itu reaksi yangmenghasilkan karbokation berenergi rendah dan stabil, akan berjalan dengan laju yang tinggi. Alkil halide tersier menghasilkan suatu karbokation yang lebih stabil aripada karbokation yang berasal dari suatu metil halida atau alkil halida primer, jadi reaksi ini mempunyai laju yang tinggi.
2.2.6 Ringkasan Mekanisme SN1 Dan SN2 (FESSENDEN)
Mekanisme SN1 kinetik order pertama
CH3 CH3
1. CH3 – C – CH3 CH3 – C – CH3 + Br - (lambat)
Br CH3
CH3 CH3
2. CH3 – C – CH3 + OH- CH3 – C – CH3 + Br- (cepat)
Br OH
Laju=k R Br
Mekanisme SN2 kinetik orde kedua
CH3Br + OH- CH3OH + Br –
Kecepatan k [CH3Br] [OH -]
2.2.7 Reaksi E1(FESSENDEN)
Suatu karbo kation adalah suatu zat antara yang tak stabil dan berenergi tinggi, yang dengan segera bereaksi lebih lanjut. Salah satu cara karbiokation mencapai produk yang stabil ialah dengan bereaksi dengan sebuah nukleofil. Tentu saja ini ialah reaksi reaksi SN1. Namun terdapat suatu alternatif: karbokation itu dapat memberikan sebuah proton kepada suatu basa dalam suatu reaksi eleminasi, dalam hal ini reaksi E1, menjadi sebuah alkena.
X +
(1) -C-C- X- + -C-C- slow
H H
+
(2) C C C C + H:B fast
H
: B
Tahap pertama dalam reaksi E1 identik dengan tahap pertama reaksi SN1: ionisasi alkil halida. Tahap ini adalah tahap lambat, jadi tahap penentu laju, dari reaksi keseluruhan. Seperti reaksi SN1, suatu reaksi E1 yang khas menunjukan kinetika order-pertama, dengan laju reaksi bergantung hanya pada konsentrasi alkil halida saja. Karena hanya melibatkan pereaksi dalam keadaan transisi (dari) tahap penentu laju, reaksi E1 adalah unimolekul seperti rewaksi SN1.
Dalam tahap ke dua reaksi eliminasi, basa itu merebut sebuah proton dari sebuah atom karbon yang terletak berdampingan dengan karbon positif. Elektron ikatan sigma karbon hidrogen ini bergeser ke arah muatan positif, karbon itu mengalami rehibridasi ke keadaan sp2, dan terbentuklah sebuah alkena.
Karena suatu reaksi E1, seperti reaksi SN1, berlangsung lewat-zat antara karbokation, maka tak mengherankan bahwa alkil halida tersier bereaksi lebih cepat dari pada alkil halida lain. Reaksi E1 (dari) alkil halida berlangsung pada kondisi yang sama seperti reaksi SN1(pelarut polar, basa sangat lemah, dan sebagainya); oleh karena itu reaksi SN1 dan E1 adalah reaksi bersaingan. Pada kondisi ringan yang diminta untuk reaksi-reaksi karbonkation untuk alkil halida ini, produk SN1 biasanya menang di bandingkan produk E1. Dari segi ini reaksi E1 alkil halida di anggap relatif tidak penting.
2.2.8 Reaksi E2 (FESSENDEN)
Reaksi eliminasi alkil halida yang paling berguna ialah reaksi E2 (eliminasi bimolekular) Reaksi E2 alkil halida cenderung dominan bila digunakan basa kuat, seperti –OH dan -OR, dan temperatur tinggi. Secara khas reaksi E2 dilaksanakan dengan memanaskan alkil halida dengan K+-OH atau Na+- OCH2CH3 dalam etanol.
Reaksi E2 berjalan tidak lewat suatu karbokation sebagai zat antara, melainkan berupa reaksi serempak (concerted reaction) yakni terjadi pada satu tahap, sama seperti reaksi SN2
Br
. 1 2 3
H : B + H-CH2-CHCH3 H:B + CH2 CHCH3 + Br -
(Morrison fourth edition)
Persamaan di atas menunjukan mekanisme, dengan anak panah bengkok menyatakan “pendorongan-elektron” (electron-pushing). Struktur keadaan-transisi dalam reaksi satu-tahap adalah:
RO
H
CH2 CHCH3
Br
Keadaan transisi E2
Dalam reaksi E2, seperti dalam reaksi E1, alkil halida tersier bereaksi paling cepat dan alkil halida primer paling lambat. (bila diolah dalam satu basa, alkil halida primer biasanya begitu mudah bereaksi subtitusi, sehingga hanya sedikit alkena yang terbentuk).
Primer Sekunder Tersier
Substrat produtc relative rates Relative rates per H
CH3CH2Br CH2 CH2 1.0 1.0
CH3CH2CH2Br CH3CH CH2 3.3 5.0
CH3CHBrCH3 CH3CH CH2 9.4 4.7
(CH3)CBr (CH3)2C CH2 120 40
(morison fourth edition)
2.2.9 Rangkuman E1 dan E2
Mekanisme E2 eliminasi bimolekuler
X
(2) C C X- + C C + H:B
H
: B
Mekanisme E1 eliminasi unimolekuler
X +
(1) -C-C- X- + -C-C- perlahan
H H
+
(2) C C C C + H:B cepat
H
: B
DAFTAR PUSTAKA
1. Fessenden, Ralp J.,Fessenden, Joan S., Kimia Organik 1., Edisi Ketiga, Erlangga 1982.
2. Morrison And Boyd., Organic Chemistry., Fourth Edition .,New York University 1983.
3. www.Wikipedia.com
4. www.chem-is-try.org.com
Langganan:
Postingan (Atom)